top of page
Writer's pictureTravelling Trilby

Episode Jawa Timur - Destination : Bromo + Banyuwangi

Updated: Sep 5, 2020

Hola Chicos!

Happy New Year 2020! It’s a bit too late huh?

Well untuk mencegah budaya kewacanaan di hidup gw, meskipun sudah tertunda 2 bulan, kali ini gw mau cerita tentang trip di penghujung tahun 2019 - 2020 kemarin, yang mungkin kalian sudah kenal di IG sebagai “Episode Jawa Timur”.


Jujur gw gak expect bahwa episode Jawa Timur akan menjadi sangat obsesif dan impulsif, sampai-sampai terbagi jadi 5 part. Awalnya rencana trip akhir tahun gw cuma ke Bromo & Banyuwangi sebagai bentuk balas dendam terhadap mati suri-nya #TravellingTrilby di 2019. Kebetulan di bulan Desember dan Januari gw lagi assignment di Surabaya, dan dua destinasi itu adalah yang kepikiran untuk gw explore di sekitar Surabaya. Namun seiring berjalan waktu di Surabaya, gw kenal dengan orang-orang dan cerita baru, dan akhirnya sadar bahwa Jawa Timur is more than meets the eye. Jiwa #TravellingTrilby gw hidup kembali, dan dengan mudahnya akses serta adanya kesempatan, lahirlah Episode Jawa Timur dalam 5 bagian.


Setiap part Episode Jawa Timur punya destinasi dan cerita yang berbeda, maka dari itu gw juga akan membagi tulisannya ke dalam beberapa part. Di bagian ini, gw akan mulai dengan cerita tentang Episode Jawa Timur – Bromo & Banyuwangi.


Awal mula rencana ke Bromo & Banyuwangi berawal tepat sepulang dari trip Episode Desa Suku Baduy. Waktu itu gw berjanji ke diri gw bahwa selama 3 bulan terakhir 2019, gw akan pergi travelling untuk mengganti waktu-waktu dan semangat #TravellingTrilby yang hilang. Di saat gw sedang sibuk berkonten episode Suku Baduy, datanglah sebuah DM dari @darismhnd yang ingin diajak jalan-jalan. Gw iseng jawab bahwa gw ada wacana explore Banyuwangi di bulan Desember, dan turns out Daris tertarik. Gw pun jadi terdorong untuk serius cari info open trip ke Banyuwangi dan kita ketemu 2 minggu setelahnya untuk diskusi teknis lapangannya. Di saat diskusi itu, gw kepikiran untuk ajak Daris explore Surabaya dan Bromo. Daris minta waktu untuk figure out things terkait tanggal dan per-cuti-an. 1 minggu kemudian, dia konfirmasi bahwa It's a go! dan ada 1 orang lagi yang mau ikut: @hilalsalsabil. Gw gak begitu kenal Hilal waktu itu, dan sejujurnya cukup khawatir gak bisa jadi host yang baik, but there are no strangers in travelling, so why worry?

Kiri - Kanan : Daris, Raka, Hilal

Itinerary kita cukup padat dengan 2 Open Trip bareng hoster @ara.adventure, yaitu Bromo di tanggal 23 dan Banyuwangi di tanggal 23 - 25. Yes! 2 open trip on 23rd December.

Tanggal 22 pagi Daris dan Hilal sampai di Surabaya menggunakan pesawat. Setelah meet up & winding up di kost gw, lalu kita berangkat untuk explore dan wisata kuliner di Surabaya. Pertama gw ajak mereka ke House of Sampoerna (cari yang adem) lalu cari jajanan dan makan siang ke Pasar Atom. Di tengah-tengah wisata kuliner Pasar Atom, lalu terjadilah sebuah rangkaian tragedi yang gw namakan "Cerita dari Analog".


Singkat cerita, dua orang ini masing-masing bawa kamera analog untuk berkonten, dan di siang itu, dua kamera ini rusak. Rencana untuk explore Surabaya buyar, we end up exploring Surabaya though, untuk mencari toko kamera analog dan baterai CR-P2 yang super langka. By the way, saking panjang dan dramanya "Cerita dari Analog" ini, maka akan gw buat post terpisah.


Starting Point: Malang

Moving on, kita mulai perjalanan kita dari terminal Bungurasih dan naik bus ekonomi (ongkos Rp 15,000 per orang) untuk berangkat ke Malang. Kenapa ke Malang? karena meeting point untuk trip Bromo ada di Malang, dan perjalanan dari Surabaya ke Malang kurang lebih 2 jam. Kita berangkat sekitar jam 8 malam dari Surabaya dan sampai di terminal Arjosari Malang jam 10an. Selama 1,5 jam kita ngemper di sekitar teminal dan di pick-up mobil elf sekitar jam 11.30 malam. Setelah menjemput peserta open trip lain, kita dibawa ke sebuah pondok di dekat kawasan Bromo untuk transit pindah ke mobil jeep. Untuk bisa sampai ke Bromo, memang harus menggunakan mobil jeep, karena medannya yang berpasir, dan sekaligus jadi bagian dari experience trip Bromo. 1 Jeep isinya ada 6 orang, jadi kita sharing dengan 3 peserta lain.


Sunset in Bukit Mentingen

Destinasi pertama kita adalah bukit Mentingen untuk melihat sunrise. Sebenarnya spot ini bukan spot utama untuk melihat sunrise di Bromo, tapi karena hari itu kondisi Bromo ramai pengunjung, sehingga Bromo sunrise viewpoint sudah penuh dan kalaupun dipaksakan jeep-nya pasti dapat parkir yang jauh. Bukit ini hanya semacam jalan setapak dengan warung lesehan yang berjejer. Malam hari sangat dingin karena tidak ada gedung atau semacamnya untuk bersinggah, namun untungnya ada pop mie hangat yang menemani.

Awalnya, gw cukup kecewa karena dari sini gak bisa kelihatan 3 gunung Bromo Tengger Semeru berjejer seperti layaknya sunrise view Bromo. Tapi kekecewaan gw terjawab, ketika cahaya mulai terlihat dan sungguh alam semesta lebih tahu mana yang baik. Meski sangat disayangkan, tapi hari itu kabutnya sangat tinggi (mungkin karena musim hujan ?), alhasil view Bromo pun tertutup oleh gumpalan awan kabut. Kalau dipikir-pikir, jika nonton dari sunrise viewpoint pun pasti pemandangannya juga tidak bagus karena tertutup oleh kabut. Tapi di satu sisi, untungnya di bukit Mentingen, ada semacam hutan yang bisa di explore, dan kita bertiga malah lebih excited untuk membuat konten di area hutan tersebut.


Lautan Pasir Bromo

Destinasi kedua adalah lautan pasir Bromo yang terletak 5 KM dari kaki gunung Bromo dan menjadi drop point pengunjung bagi mobil jeep, dikarenakan jeep tidak diperbolehkan melintasi pasir menuju gunung Bromo. Pagi hari itu, kabut masih sangat tinggi, sehingga pemandangan kaki gunung Bromo tidak terlihat dengan jelas. Dari tempat parkir jeep lautan pasir Bromo, kita bisa berjalan kaki atau naik kuda dengan biaya Rp 150,000 ke kaki gunung Bromo. Sayangnya kita team low budget, sehingga kita memilih perjuangan berjalan kaki. Dinamakan lautan pasir karena sepanjang mata memandang adalah hamparan pasir yang mengelilingi gunung Bromo. Meski 5 KM terdengar enteng, namun bagi first-timer ternyata jalan kaki menuju kaki Gunung Bromo cukup menjadi shock therapy. Di momen ini lah lahir internal jokes kami selama trip yang menyebut Daris, si Jompo. Sepanjang perjalanan menuju kaki gunung Bromo, banyak spot dan latar belakang yang bisa dijadikan konten, so get your camera ready!.

Teman-temanku dengan acuhnya mendaki, padahal bukan itu gunungnya.

Kawah Gunung Bromo

Tibalah kami di kaki gunung Bromo, dan ternyata perjuangan masih harus dilanjutkan dengan menaiki 204 anak tangga untuk dapat melihat kawah gunung Bromo. Gunung Bromo sebagai salah satu destinasi "10 Bali Baru" sangat penuh dengan pengunjung baik lokal maupun turis asing khususnya di hari libur. Dari atas gunung Bromo kita akan dimanjakan dengan pemandangan bebatuan gunung berapi yang dikelilingi lautan pasir berwarna ke-abuan. One hell of a breathtaking view! Untungnya trip ini memilih kawah Bromo sebagai destinasi awal, sehingga terik panas matahari belum begitu terasa.

📷 by @darismhnd

1 spot favorit gw di kawah gunung Bromo, terletak di sebelah kanan dari tangga. Dengan latar belakang hamparan bukit batu, dan setapak yang minim pengunjung, kita terlihat seperti petualang sejati.

I love the feeling of being small in the universe.

Gunung Bromo adalah gunung berapi yang masih aktif, dan dari atas kita bisa melihat kawah Bromo yang masih mengeluarkan asap belerang di dalam kawah. Setelah puas bermain (lebih tepatnya berkonten) di kawah gunung Bromo, kita harus kembali turun tangga dan berjalan 5 KM ke tempat parkir jeep dengan suasana yang lebih terik. Seharusnya di jadwal trip, kita berangkat ke destinasi berikutnya dari tempat parkir jeep di jam 8. Tapi apa daya dengan kejompoan kami, kita baru sampai kembali di tempat parkir jeep jam 9. Sebenarnya bagi kami itu bukan masalah, tapi karena kita sharing jeep dengan 3 orang lainnya, jadi merasa tidak enak. Sorry.


Pasir Berbisik

Melanjutkan perjalanan dari area kaki gunung Bromo menuju destinasi ke-3, yaitu pasir berbisik. Perjalanan menggunakan jeep ke pasir berbisik, dipenuhi dengan aksi-aksi offroad dengan lompatan pada gundukan-gundukan pasir. Disini angin bertiup dengan kencang, sehingga perlu berhati-hati dengan hembusan pasir ke arah mata dan mulut. Pemandangannya kurang lebih sama dengan lautan pasir, yaitu hamparan pasir yang luas, namun dengan latar belakang berupa dinding-dinding gunung yang mengelilingi kita. Dikarenakan kabut sudah tidak ada, barulah disini kita bisa mengambil konten main pasir dan bergaya di atas jeep ala ala Bromo.



Bukit Teletubbies

Destinasi terakhir dari trip Bromo, ialah bukit Teletubbies. Meninggalkan pasir dan gunung berapi yang sedari pagi kita lihat, disini kita disuguhkan dengan pemandangan fresh berupa perbukitan dengan hamparan rerumputan hijau (hence the name Teletubbies Hill). Dikarenakan sedang musim hujan, maka kita mendapati bukit Teletubbies dengan warna hijau. Apabila sedang musim kemarau, maka bukit ini dipenuhi dengan dedaunan berwarna kuning kecoklatan. Di bukit Teletubbies ini ada jasa sewa kuda dengan harga yang lebih masuk akal untuk mengelilingi perbukitan. Cita-cita gw untuk berfoto ala kak @_febrian di gunung Bromo pun tercapai, dan tentunya tidak lupa menggunakan kain poncho Mexico kebangaan gw.


Bromo End, Banyuwangi Here we Go

Sepulang dari bukit Teletubbies, kami kembali ke pondok tempat transit mobil jeep dan kembali diantarkan ke Malang menggunakan mobil elf. Badan mulai terasa lelah, secara kami tidak tidur dengan proper sedari Surabaya dan selalu memanfaatkan waktu di perjalanan untuk beristirahat. Sekitar jam 3 sore kami kembali di terminal Arjosari untuk naik bus kembali ke Surabaya. Kenapa ke Surabaya lagi? karena meeting point untuk trip Banyuwangi ada di Surabaya (how efficient). Kali ini kita pulang menggunakan bus patas eksekutif agar waktu tempuh ke Surabaya lebih cepat karena lewat tol panjang dan memaksimalkan kenyamanan istirahat di bus (ongkos Rp 25,000).


Meskipun waktu kumpul untuk trip Banyuwangi masih jam 11 malam, tapi perjalanan kami hari itu masih panjang. Sesampainya di Surabaya, kami harus ke Surabaya utara untuk mengambil kamera analog yang diperbaiki di tempat H. Amin (tokoh utama dalam "Cerita dari Analog"). Sore itu hujan lebat di Surabaya, sehingga mobilisasi susah dan jalanan cukup macet. Alhasil kita baru kembali di kosan pukul 9.30, dan hanya punya waktu 1,5 jam untuk packing, makan malam, istirahat dan berangkat ke meeting point. Sialnya ada kendala dengan penjemputan oleh hoster dan kami baru di pick up di meeting point jam 1 pagi! Sungguh kesal dengan waktu yang seharusnya bisa dipakai untuk beristirahat, tapi that's the perks of travelling: unfortunate events. Untungnya mobil elf yang kita pakai super comfy, dan dibantu doping antimo, kita bertiga langsung tepar sepanjang jalan menuju Banyuwangi.


Taman Nasional Baluran - Savanah Bekol

Perjalanan dari Surabaya ke Banyuwangi memakan waktu sekitar 5 - 6 jam dan tanpa terasa (maklum tepar par par) kita sudah sampai di destinasi pertama dari trip Banyuwangi, yaitu Taman Nasional Baluran. Secara geografis, TN Baluran ini bukan berada di Banyuwangi, melainkan Situbondo. Namun dikarenakan stasiun dan bandara lebih accesible dari Banyuwangi, maka menjadi destinasi wajib untuk trip Banyuwangi. Di Tahun 2017, gw pernah ke TN Baluran bareng jalan besar LFM, dan ini salah satu destinasi yang paling gw rindukan.

TN Baluran terletak di kaki gunung Baluran dan merupakan kawasan cagar alam berupa padang rumput savanah yang sangat luas. TN Baluran sering juga disebut African van Java karena penampakannya seperti taken straight from a National Geographic documentary lengkap dengan hewan-hewannya. Spot utama di TN Baluran disebut Savanah Bekol ditandai dengan adanya pos petugas berjaga dan sebagai tempat bagi pengunjung untuk bersinggah. Dari sini sudah dapat terlihat hewan liar seperti monyet, menjangan serta kerbau di kejauhan sedang makan rumput dan mencari minum. Monyet-monyet di TN Baluran cukup agresif dan konon suka mencuri, jadi be aware of your belongings.


Pagi itu langit sedang cerah dan pemandangannya sangat mesmerizing dengan gunung Baluran sebagai latar belakang. Karena baterai badan sudah terisi sepanjang perjalanan, kita pun dengan acuhnya masuk ke dalam kawasan Savanah untuk melihat hewan-hewan liar lebih dekat. Setelah selang beberapa waktu kita bermain di padang Savanah, tiba-tiba kita bertiga diteriaki oleh petugas dengan nada marah-marah "WOI! BALIK!". Jujur kita bertiga kaget dan agak takut, suasana juga agak rusak oleh teriakan petugas itu. Ternyata tanpa kita sadari ada pembatas yang melarang pengunjung untuk masuk ke kawasan Savanah. PADAHAL 2 tahun lalu, boleh-boleh aja masuk ke kawasan savanah, karena gw inget banget sama anak-anak LFM main ke dalam Savanah, bahkan ke watering station tempat binatang-binatang minum.

Bukti nyata bahwa di tahun 2017 bisa sedekat ini dengan satwa

Taman Nasional Baluran - Pantai Bama

Tidak lama setelah kejadian diteriaki, guide kami, Mas Angga, yang ternyata pemilik @ara.adventure kemudian mengarahkan kami untuk melanjutkan perjalanan ke pantai Bama. Pantai ini terletak selurusan dari Savanah Bekol dan masih di dalam kawasan TN Baluran. Di pantai ini tidak banyak yang bisa dilakukan, karena pantainya tidak bisa direnangi, namun di sini ada area mangrove yang dipenuhi dengan monyet-monyet. Kita bisa melihat monyet bermain di atas pohon dan bayi-bayi monyet yang digendong oleh induknya. Sekitar jam 07.30 kami pergi meninggalkan TN Baluran untuk pergi mencari sarapan sebelum melanjutkan perjalanan ke Pulau Menjangan.


Pulau Menjangan

Perjalanan menuju pulau Menjangan diawali dari Grand Watudodol di Banyuwangi. Grand Watudodol adalah dermaga kecil tempat berlabuhnya kapal-kapal menuju pulau Menjangan dan pulau Tabuhan. Dermaga ini bersih dengan warung-warung ala pinggir pantai dan tempat mandi. Gw sangat recommend untuk mencoba kelapa dan jagung bakar disini sepulang dari pulau Menjangan. Ombak-nya tenang dan airnya jernih sehingga sesuai sebagai tempat berlabuh, namun semakin siang ombak menuju pulau Menjangan menjadi semakin tinggi, sehingga sangat disarankan untuk berangkat pagi apabila ingin menyebrangi pulau.


Perjalanan dari Grand Watudodol menuju pulau Menjangan memakan waktu kurang lebih 1 - 1,5 jam. Pulau Menjangan terletak di Taman Nasional Bali Barat, sehingga dalam penyebrangan kita bisa melihat pulau Bali membentang di arah timur. Air laut terlihat biru menyegarkan dan jernih, di beberapa titik dangkal kita bisa melihat ikan-ikan berenang. Pulau Menjangan dinamakan dari menjangan, sejenis rusa kecil yang tinggal secara bebas di pulau tersebut. Namun selama kami mengitari pulau, kita kurang beruntung untuk bertemu secara langsung dengan menjangan. Pulau menjangan memiliki pasir berwarna putih dan dikelilingi air biru laut serta dapat kita lihat TN Bali Barat di seberang pulau. Gw sangat menyarankan untuk pakai sunblock ketika mengitari pulau Menjangan, karena siang bolong di pulau Menjangan is not a good idea. Saking panasnya matahari, menginjak pasir tanpa alas kaki rasanya bisa bikin kaki melepuh.


Coral Garden

Setelah puas mengitari pulau dari jalur darat, kita diarahkan kembali ke kapal untuk hal yang ditunggu-tunggu: Snorkeling! Pulau Menjangan sendiri merupakan spot snorkeling yang terkenal baik secara lokal maupun Internasional. Terdapat banyak terumbu karang di sekitar pulau Menjangan yang menjadi spot untuk snorkeling. Kita berhenti di 2 spot snorkeling dan banyak sekali ikan beragam warna di sekeliling terumbu karang. Tapi sangat disayangkan, banyak terumbu karang yang sudah mati akibat terinjak oleh pengunjung. Gw sangat menyarankan untuk yang tidak jago berenang menggunakan pelampung, karena kedalaman laut disana cukup dalam dan agar tidak menginjak terumbu karang. Di spot snorkeling kedua kami, kita beruntung bisa melihat bintang laut yang dengan anggunnya bersandar di terumbu karang. Sekitar 1,5 jam mandi air laut, rasanya sangat segar dan sehabis selesai snorkeling kami makan nasi kotak di atas kapal dengan lauk ayam nasi. Memang makan setelah berenang itu nikmatnya tak tertandingi.


Ganesha Menjangan Temple

Setelah puas snorkeling, perjalanan dilanjutkan dengan mengelilingi pulau Menjangan dari kapal dan akhirnya terlihat beberapa menjangan di sisi hutan pulau yang sedang mencari makan di pohon-pohon sekitar. Di bagian utara dari pulau Menjangan, kami ditunjukkan patung Ganesha putih raksasa yang ada di kuil pulau Menjangan. Patung tersebut digunakan oleh penduduk setempat sebagai sarana upacara adat, secara penduduk lokal disana mayoritas ialah suku Bali. Sekitar jam 4 sore kami berlayar kembali ke Grand Watudodol untuk istirahat dan bilas. Perjalanan kemudian dilanjutkan kembali ke kota Banyuwangi untuk beristirahat. Kami mampir sebentar di pusat oleh-oleh Oesingdeles dan check in di penginapan Red Doorz yang lumayan comfortable. Akhirnya bisa tidur di kasur kembali dengan proper.


Ijen Blue Fire

Jam 2 pagi dini hari, kami check out dari penginapan dan melanjutkan perjalanan ke destinasi terakhr dari trip Banyuwangi menuju gunung Ijen. Setelah 2 tahun sebelumnya gw gagal untuk melihat blue fire, tujuan utama dari Ijen kali ini adalah melihat blue fire. Jujur pendakian gunung Ijen cukup menantang, bahkan bagi gw sekalipun. Kali ini gw cukup menyiapkan mental dan peralatan yang mumpuni alias masker respirator yang disediakan oleh @ara.adventure.


Dari pintu masuk gunung Ijen, pendakian sekitar 3 jam menuju puncak gunung Ijen, dan kita berlomba dengan waktu, sebab blue fire hanya bisa dilihat ketika suasana gelap sebelum matahari terbenam. Ternyata pendakian menjadi shock therapy untuk Daris dan Hilal, jadi kita senantiasa saling menyemangati. Sekitar 1 jam sebelum matahari terbenam, kita sudah sampai di atas, dan sekarang harus turun masuk ke kawah gunung Ijen untuk melihat blue fire dari dekat. As expected, hari itu gunung Ijen ramai pengunjung sehingga jalur turun pun penuh. Tapi untungnya, hari itu pengunjung diperbolehkan untuk turun, karena 2 tahun ditutup akibat asap belerang lagi tinggi. Sambil turun perlahan, gw mulai anxious, karena waktu sudah menunjukkan pukul 04.30. Dengan agak sedikit egois, akhirnya gw mempercepat pace dan sedikit meninggalkan Daris dan Hilal, dan gw turun dengan rute yang cukup ngasal lewat samping dan lompat-lompat. Jam 04.45, sekitar 10 menit sebelum matahari terbit akhirnya gw sampai dan pertama kalinya dengan mata kepala sendiri melihat secara langsung fenomena blue fire di gunung Ijen.

I see fire inside the mountains - Ed Sheeran

Okay, now time to let the facts straight! Despite media and tour claims that blue fire phenomenon only happen in 2 places in the world : Iceland and Gunung Ijen. The fact is, there is no official record of blue fire occured in Iceland, it is just one big cloud of internet misinformation. There has been sightings of it occurring in some other points in the world, namely Ethiopia, Mt. Vesuvius, and Yellow stone but only in rare case. However, It is only in gunung Ijen in which you can encounter blue fire phenomenon almost every night due to its high concentration of sulphur. The blue fire is visible only in night light and best seen on dry season. This phenomenon is actually a high pressured sulphuric gas that came in contact with air in a temperature above 360 C which result in a blue colored light (so it's not actually fire). Gw rasa false marketing ini dulu dibuat untuk menarik pengunjung, but I think its time people should be more aware of the truth and be proud of what unique thing Indonesia have.


Kawah Ijen

Setelah matahari terbit, pemandangan di sekitar kawah Ijen terlihat dengan jelas dan behold the largest acid lake in the world. Oh iya, untuk bisa turun ke kawah ini hukumnya wajib pakai masker karena asap belarang di kawah Ijen ini sifatnya beracun. Turun ke kawah artinya kita dengan sadar memilih melepaskan tanggung jawab dari asuransi pengelola wisata gunung Ijen. Area kawah Ijen ini merupakan milik PT, dan sesungguhnya merupakan area kerja dari penambang belerang. Maka dari itu, apabila di jalan kita berpapasan dengan penambang, hukumnya wajib memberi jalan untuk mereka terlebih dahulu, karena mereka memikul beban hingga 75 KG.


Danau di kawah Ijen memiliki warna turquoise yang sangat cantik dikelilingi dengan bebatuan gunung, dan ini merupakan pemandangan favorit gw dari trip Banyuwangi. Di trip kali ini gw merelakan sunrise moment di kawah Ijen, karena gw rasa untuk bisa turun ke kawah jauh lebih worthed ketimbang sunrise. Di titik ini, Hilal naik duluan karena enggak kuat sama asap belerang, jadi hanya gw sama Daris yang explore banyak di sekitar danau kawah Ijen. Setelah puas berkonten di kawah, kami naik lagi ke atas gunung Ijen. View dari atas gunung Ijen memang gak kalah bagusnya, dengan latar belakang gunung Raung yang menjulang tinggi di arah barat.

Para Pendaki Langit (2443 mdpl)

Pulang

Gunung Ijen merupakan destinasi terakhir kami. Kami sampai turun kembali di pintu masuk gunung Ijen sekitar jam 9 pagi. Ditutup dengan sarapan di warung sekitar tempat parkir gunung Ijen. Sungguh 5 hari yang melelahkan, namun jadi cerita jalan-jalan yang fulfilling buat gw karena telah berhasil menghidupkan kembali semangat #TravellingTrilby. Terima kasih sebesar-besarnya untuk Daris dan Hilal telah menjadi teman jalan-jalan yang seru dan penuh cerita. Semoga pengalaman ini bisa menjadi jalan-jalan yang fulfilling buat kalian juga. Tidak gw sadari bahwa trip ini mengawali rangkaian trip penutup akhir tahun gw di sekitar Jawa Timur. Video footage ini gw buat untuk menangkap perasaan dan momen dari part 1 : #TravellingTrilby - Episode Jawa Timur - Bromo + Banyuwangi


Hasta La Vista! - Travelling Trilby


44 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page