Hola Chicos!
Can’t believe we are still in the middle of pandemic, and it’s been a year since I moved back to Karawang. Tapi di sisi lain, mata gw jadi semakin terbuka dengan banyaknya hidden gems untuk di explore di sekitar Jawa Barat. Awal gw kembali pindah ke Karawang, gw sempat hopeless untuk menghidupi semangat Travelling Trilby, but turns out Jawa Barat gak kalah keren sama Jawa Timur untuk masalah destinasi travelling. Di episode kali ini gw akan share lagi pengalaman gw dalam uncovering another hidden gem in Indonesia. One at a time.
Prologue: Back Up Plan
Gw adalah tipe orang yang umumnya plan things out di semua hal yang gw lakukan, including Travelling. As some of you know, salah satu target gw di tahun ini adalah untuk jalan-jalan setiap bulannya. Episode di bulan September menjadi salah satu contoh dimana sometimes I have multiple back up plan for my travel. Original plan (kita sebut Plan A) di episode Bulan September sebenarnya adalah rope jumping di tanggal 19 September. Tapi kemudian di sekitar Week 37, muncul isu pemberlakuan kembali PSBB II pada tanggal 14 September dan gw langsung melihat adanya risiko Plan A kemungkinan tidak jadi terlaksana. Dari itu, gw segera menyiapkan Plan B untuk explore Sanghyang Heleut di tanggal 12 September, tepat sebelum pemberlakuan PSBB II. Namun sambil mencari teman untuk berangkat ke Sanghyang Heleut, gw sudah menyiapkan lagi back up plan untuk back up plan (disebut Plan C) berupa tetap berangkat rope jumping sendiri di tanggal 12 September.
Untuk Plan B sendiri, destinasi Sanghyang Heleut menjadi salah satu destinasi inceran gw di tahun ini. Sanghyang Heleut merupakan danau purba yang konon katanya merupakan tempat mandi para bidadari. Wacana Sanghyang Heleut ini sudah sering gw tawarkan ke banyak teman-teman di IG, sehingga dari Plan B sendiri gw punya beberapa plan turunan, yaitu Plan B-1 & Plan B-2 tentang dengan siapa gw berangkat ke Sanghyang Heleut. Untungnya di H-1 keberangkatan, salah satu kelompok (di case ini Basis Bintaro) sudah lengkap kuota dan siap berangkat, so here I go: Episode Cipatat – Sanghyang Heleut.
Episode Cipatat
Destinasi dari trip kali ini berada di daerah Cipatat yang terletak di Bandung Barat, Jawa Barat. Beberapa destinasi wisata di Cipatat yang lumayan terkenal ialah stone garden, bukit kapur, rope jumping, dan Sanghyang Heleut. Pertama kali gw tahu Sanghyang Heleut sebenarnya dari IG story @syahlawindayana dari beberapa tahun lalu. Waktu itu gw belum tahu namanya Sanghyang Heleut dan lucunya di story Syahla waktu itu, ialah Syahla dan teman-temannya pergi ke sana sehari setelah hujan, sehingga air di sana berwarna coklat. Tapi entah kenapa ingatan tentang IG story itu sangat membekas di kepala gw.
Kemudian sekitar bulan Agustus, gw menemukan foto-foto dari Sanghyang Heleut di Instagram. Entah kenapa gw merasa familiar dengan foto-foto tersebut dan yang terbersit di kepala gw adalah ingatan tentang IG story Syahla. Akhirnya gw bertanya kepada Syahla tentang IG story-nya dan ternyata benar bahwa destinasi yang dia tuju waktu itu adalah Sanghyang Heleut. Momen-momen seperti ini lah yang membuat gw merasa bahwa sejatinya Tuhan memberikan petunjuk terhadap jodoh dan masa depan kita.
Di trip kali ini gw berangkat bareng teman-teman kecil gw di Bintaro, yaitu @darismhnd @panji.26 @dama.adhikara. Mereka berangkat sekitar jam 6 pagi dari Bintaro dan menjemput gw di Karawang. Perjalanan dari Jakarta ke Cipatat kurang lebih 3.5 jam melewati tol ke arah Bandung. Good news is rute ke Sanghyang Heleut tidak terlalu macet dan tidak sulit sehingga sangat bisa didatangi untuk one day trip. Ada 2 jalur menuju Sanghyang Heleut, yaitu Batu Aki dan PLTA. Apabila kalian menggunakan @googlemaps, maka akan diarahkan ke starting point Batu Aki. Batu Aki merupakan pos masuk menuju Sanghyang Heleut lengkap dengan lahan parkir khusus dan sebuah warung di pinggir.
Kami sampai di Batu Aki sekitar jam 10:30 dan sesampainya kami sarapan terlebih dahulu di warung dengan menu Indomie Telor aka menu wajib setiap jalan-jalan. Setelah mengisi tenaga, kami lapor pada pos Batu Aki dan membayar HTM sebesar Rp 20,000 per orang. Informasi tentang Sanghyang Heleut yang gw dapatkan sangatlah minim, sehingga baru tahu bahwa ternyata ada tracking dari pos menuju ke danau. Menurut informasi dari penjaga ialah sekitar 1 -2 KM, and I thought, okay no big deal. Tracking dimulai dengan semangat diiringi latar belakang dari atas bukit yang memandang hamparan pepohonan dan wadug PLTA yang terlihat di kejauhan. Cuaca hari itu cukup terik, sehingga tracking terasa lumayan panas, namun di satu sisi bersyukur karena cuaca jauh dari yang namanya hujan dan air di danau bisa dipastikan bersih dan sedang tidak keruh.
Jalanan yang awalnya landai semakin lama mulai menjadi rangkaian turunan dengan tanah kering yang licin. 2 KM yang awalnya gw pikir no big deal, mulai terasa fiktif. Tepat di 1 KM tracking ada sebuah check point berupa warung kecil yang dengan gencarnya menawarkan minuman ringan dan air kelapa. Sedikit tips tentang air kelapa: Kalau kalian terpikir untuk minum air kelapa selama trip ke Sanghyang Heleut, maka gw rekomendasi untuk minum di warung pertama di pos parkir karena harganya hanya Rp 7,000 compare to warung lainnya yang menjual di harga Rp 25,000.
Selepas dari check point 1 KM, jalanan menuju danau Sanghyang Heleut di jalur Batu Aki menjadi full turunan dengan medan batuan. Buat teman-teman yang sering tracking, pasti tahu bahwa yang namanya turunan itu lebih melelahkan dibanding menanjak (well, sama sama membunuh sih) karena semua berat badan tertumbu pada lutut dan tumit. Ada baiknya buat teman-teman yang belum terbiasa melakukan tracking, agar sedia kayu atau tracking pole sebagai pegangan.
Sembari berjalan, kami terus mempertanyakan dimanakah penampakan danau Sanghyang Heleut, karena sedari tadi tracking, tidak terlihat adanya tanda-tanda danau. Di sepanjang perjalanan ada beberapa titik untuk duduk dan beristirahat, dan tanpa terasa sudah hampir 1 jam waktu yang kita habiskan untuk tracking. Di sekitar 300 meter terakhir sebelum sampai, mulai terdengar suara orang-orang berteriak dari kejauhan diiringi suara deburan air. Sambil mengintip dari balik pepohonan, mulai terlihat warna hijau tosca yang bersandar luas di bawah. I really can't wait to get to the lake!
Secara total, butuh hampir 1,5 jam bagi kami untuk akhirnya sampai di Kawasan Sanghyang Heleut dari pos parkir untuk 2 KM terfiktif dalam hidup ini. Di kawasan Sanghyang Heleut, bisa terlihat jajaran batu putih besar yang berbaris diiringi aliran sungai yang membentang. Di sisi tebing ada 4 buah warung berjejer yang menjadi tempat istirahat bagi para pengunjung. Kami sampai di kawasan Sanghyang Heleut sekitar jam 12 siang, dan bisa dibayangkan seberapa panas hari itu. Kami singgah pada salah satu warung untuk beristirahat dan menselonjorkan kaki, sambil memesan es teh manis lengkap dengan es batunya.
Tak disangka di zaman pandemi seperti ini, lumayan banyak orang yang pergi untuk berwisata. Setelah kami perhatikan, banyak pengunjung yang datang dari arah berbeda dari tempat kami masuk. Disini kami baru menyadari bahwa ternyata ada jalur lain untuk sampai ke Sanghyang Heleut, yaitu jalur PLTA. Sambil menunggu siang lewat dan beristirahat, gw berinisiatif untuk mengintip dan explore lebih dekat wisata yang dinamakan Sanghyang Heleut ini.
Danau Sanghyang Heleut
Lokasi danau tidak jauh dari posisi warung tempat kami beristirahat. Kawasang Sanghyang Heleut ini seperti daerah purba yang dipenuhi batu-batuan besar dan rute menuju danau bukanlah jalanan seperti saat tracking, melainkan memanjat dari satu batu ke batu lain. Hingga akhirnya gw sampai di satu batu tinggi yang menunjukkan pemandangan danau Sanghyang Heleut dengan air hijau toscanya yang indah. Di salah satu sisi danau, terdapat satu batu tinggi yang menjorok ke dalam dan menjadi pusat aktivitas di Sanghyang Heleut, yaitu cliff jumping. Bergantian pengunjung mengantri berdiri di atas ujung tebing sembari mengumpulkan keberanian untuk lompat ke dalam danau.
Gw melanjutkan explore mengelilingi batuan di sekitar danau, hingga sampai pada satu titik jauh yang memiliki sebuah pijakan berupa batang pohon untuk turun ke arah bawah mendekati danau. Batang pohon yang berfungsi sebagai anak tangga tersebut membawa gw ke salah satu sisi daratan di permukaan danau Sanghyang Heleut. Dari tempat gw berdiri ini bisa melihat full view dari danau Sanghyang Heleut yang benar-benar memenuhi julukan danau purba tempat mandi para bidadari.
Melihat pengunjung lain yang sedang asyik berenang di danau dengan pelampung, gw menjadi tidak sabar untuk segera ikut berenang di air yang terlihat indah dan menyegarkan ini, apalagi di tengah-tengah teriknya sinar matahari. Gw menyudahi survei lokasi dan berjalan kembali ke arah warung dengan niatan untuk segera berganti ke pakaian renang. Sesampainya di warung, gw temui teman-teman gw sedang tertidur pulas dibawah bayang-bayang atap warung. Sepertinya tracking sebelumnya memang sangat melelahkan, dan gw pikir-pikir kenapa harus terburu-buru? Sembari menunggu panas mereda dan memulihkan tenaga, kami melanjutkan istirahat dan bercanda tentang masa kecil.
Gw dan Dama menjadi yang pertama untuk berganti kostum renang, sedangkan Daris dan Panji bilang akan menyusul ke danau. Sebelum masuk ke dalam air, gw dan Dama sepakat untuk mengambil konten terlebih dahulu, sebelum nanti ribet ketika badan sudah basah kuyup. Kebetulan Dama sedang rajin bikin konten ‘video aesthetic’ di TikTok @dama.adhikara dan gw mengumpulkan footage video untuk konten Travelling Trilby. Setelah puas mengambil gambar dan video, kami menitipkan barang di pos penjaga yang juga merupakan tempat sewa pelampung. Sekedar informasi, biaya sewa pelampung di Sanghyang Heleut adalah 15,000 per pelampung untuk batas waktu yang tidak ditentukan.
Cliff Jumping : 6 meter & 8 meter
Dari awal datang ke Sanghyang Heleut, gw paling penasaran dengan aktivitas cliff jumping, and I decided that my entrance to the lake would be by jumping. Ada beberapa spot batu yang bisa digunakan untuk melompat di Sanghyang Heleut, namun spot yang paling banyak digunakan oleh pengunjung adalah batu dengan ketinggian lompat 6 meter. Untuk sampai ke atas batu 6 meter tersebut, ada tali yang bisa digunakan untuk memanjat ke atas. Dari atas terlihat jelas danau bewarna hijau tosca dan berpasang mata yang terpaku ke arah calon pelompat. Gw mencari bagian danau yang paling dalam, kemudian tanpa banyak ragu, dengan sedikit dorongan kaki dan teriakan “Aaaaaaaa!” *Byurrrrrr* dan seketika badan sudah terendam di air yang segar.
Perasaan cliff jumping lumayan memacu adrenalin. Gw bukan tipe orang yang takut ketinggian, dan gw tidak terlalu takut untuk lompat dari spot 6 meter karena sudah banyak orang yang lompat di sana, and I thought “everybody can do it”. Namun jujur bagian yang lumayan menakutkan adalah sepersekian detik ketika gw merasakan kaki gw sudah tidak menapak pada batu “What the hell have I done?”. Waktu seakan berhenti, kepala gw tidak mendengar suara, dan di sepersekian detik itu ada perasaan semacam heart drop seperti ketika naik kora-kora.
Only in that split second of jumping, however, that I find myself living instead of just existing.
Pengalaman seperti inilah yang tidak bisa digantikan oleh harta manapun di dunia, and that’s why I love to travel and explore. Lagi-lagi dunia membuat gw merasa kecil, ketika berenang bebas di tengah-tengah Danau Sanghyang Heleut seakan milik sendiri. Gw berenang beberapa putaran sejenak melupakan teriknya matahari dan membasuh kelelahan yang dirasakan selama tracking. Ah rasanya tidak ingin pulang (karena kalau pulang harus tracking lagi).
Sekitar 20 menit gw dan Dama berenang di danau tempat mandi bidadari ini, hingga akhirnya muncul Daris dan Panji yang masih berpakaian lengkap dari batu di atas memanggil kami berdua.
Gw menduga mereka berdua terkena serangan mager yang kerap menyerang kelompok masyarakat malas basah. Namun mumpung mereka berdua sudah ada di area danau, mereka tepat menjadi asisten kameramen untuk mengambil konten Cliff jumping. In total ada sekitar 4 kali gw melompat dari spot batu 6 meter.
Masih berargumen tidak mau berenang meski sudah sampai ke Sanghyang Heleut, akhirnya gw mengajak Daris dan Panji for a bet. Apabila gw berani untuk lompat dari titik tertinggi di Sanghyang Heleut, maka semua harus berenang di danau Sanghyang Heleut. Ya! Jadi ada 1 spot cliff jumping lainnya yang merupakan spot lompat tertinggi dengan ketinggian 8 meter. Akan tetapi, selama gw berada di danau ini seharian, baru ada 1 orang yang berani lompat dari spot tersebut. The pressure is real.
Awalnya gw pikir akan mudah seperti spot batu 6 meter, but there’s something about the spot that makes me feel uneasy. Karena tidak banyak orang lain yang lompat dari spot tersebut, seakan tidak ada social validation that the spot is safe for jumping.
Gw memandang ke bawah dan seakan kepala gw berputar karena ketinggiannya yang hampir setinggi gedung 2 lantai dan ditambah lagi adanya semacam daun dan ranting yang melintang di ujung terluar batu tempat melompat, sehingga terbayang bahwa nantinya gw butuh mendorong diri dengan ekstra tenaga agar bisa lompat melewati halang rintang tersebut.
Beberapa percobaan pertama untuk lompat, langkah gw selalu terhenti di detik terakhir, seakan hati belum mantap untuk berani melompat. Akhirnya di satu titik, gw minta waktu dan bermeditasi sambil duduk di atas batu. Gw mengatur nafas 4-8-4 sesuai breathing exercise di latihan yoga dan memusatkan pikiran gw.
Satu pikiran yang muncul di kepala gw adalah ingatan tentang pengalaman cliff jumping yang serupa ketika di Zocalo Cenote di Mexico pada tahun 2017. Saat itu, di kondisi yang serupa, ketika gw hendak lompat di spot tertinggi, gw terhenti di last second, dan at the end gw mengurungkan niat gw untuk lompat karena termakan statement teman gw “This is a White men’s sport”. Gw merasa kecewa dengan diri gw yang tidak bisa push the boundary, dan juga karena terpengaruh by some old-fashioned stereotype.
Kali ini gw tidak ingin memiliki perasaan menyesal yang sama, so I tried once again. Gw tidak mau berpikir, tidak mau merasa, sambil mengambil ancang-ancang lompat, dan mencari kata untuk gw teriakkan, “Anjaaaayyyyy!”. Yes! I did it! 8 meters jump. (NB: I know it was not a great shout, but honestly, I can’t think of any other word that time)
The other way back home
Berkat berhasilnya adegan lompat gw di batu 8 meter, Daris dan Panji akhirnya mengalah dan ikut merasakan immersive experience untuk berenang di danau Sanghyang Heleut. Seperti gw sangka, sebenarnya mereka mupeng untuk berenang, tapi terhalang rasa mager untuk bersih-bersih dan bilas. Sebagai pelengkap, Daris juga memenuhi tantangan untuk melakukan cliff jumping di batu 6 meter. Kami berenang hingga sore hari, dan semakin sore, jumlah pengunjung semakin sedikit, sehingga danau benar-benar terasa milik pribadi.
Tidak terasa hari sudah hampir jam setengah 4 sore dan jumlah pengunjung sudah semakin sedikit, sehingga danau terasa benar-benar milik pribadi. Sayangnya jam beroperasi di Sanghyang Heleut dibatasi hanya sampai jam 5 sore for safety reasons. Setelah puas main air, kami mengakhiri explore moment dan kembali ke warung untuk bilas dan berganti pakaian. Namun tidak diduga, di area wisata yang aktivitas utamanya adalah berenang ini, ternyata tidak terdapat fasilitas untuk bilas. Note another important tips from this trip: Bring your own towel!
Setelah lunas membayar jajanan dan pamit dengan host kami aka Mbak Warung, kami mulai perjalanan pulang sekitar jam setengah 5 sore. Dalam perjalanan pulang, kami terpikir pada sebuah strategi untuk terbagi ke dalam 2 kelompok. Dikarenakan di perjalanan berangkat, kaki Dama sempat terluka, maka gw dan Dama pulang melalui jalur PLTA yang relatif lebih landai, sedangkan Daris dan Panji akan pulang lewat jalur Batu Aki untuk mengambil mobil dan kemudian menjemput kami di PLTA.
Perjalanan di rute PLTA ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Memang jika dibandingkan dengan rute Batu Aki, jalanan di rute PLTA relatif lebih landai, namun medannya adalah batuan sungai-sungai besar. Namun jika disuruh memilih, gw tetap prefer jalur PLTA dikarenakan ada banyak pemandangan di sepanjang rute. Di salah satu bagian perjalanan, kami sampai pada Gua Sanghyang Poek, yaitu sebuah gunung batu yang menjulang tinggi ke atas dan di bagian bawah terdapat rongga di atas aliran sungai kecil. Aliran sungai kecil tersebut berasal dari danau Sanghyang Heleut dan mengalir kepada danau kecil dengan kedalaman 2 meter. Bagian ini seolah menjadi destinasi tambahan di trip kali ini.
Kami memakan waktu kurang lebih 1,5 jam melewati jalur ini hingga sampai pada satu pondok kecil. Di pondok kecil ini terdapat beberapa tukang ojek yang menunggu dan menawarkan jasa antar hingga pintu PLTA. Dikarenakan hari sudah sore dan tenaga sudah habis, gw dan Dama memilih hidup nyaman dan melanjutkan perjalanan menggunakan ojek. Thank God! Cause it only cost Rp 10,000. Sebuah pilihan yang sangat tepat, karena ternyata rute jalan dari pondok kecil hingga bunderan PLTA masih sangat panjang dan mungkin butuh sekitar 45 menit lagi jika ditempuh jalan kaki. Tidak lama setelah gw dan Dama diturunkan di depan salah satu warung dekat bunderan PLTA, mobil Panji sampai untuk menjemput kami. Hal ini jelas membuktikan bahwa jalur Batu Aki memang lebih cepat secara waktu, namun dengan medan yang mematikan.
Epilogue
And so, this sums up our one-day trip to Sanghyang Heleut. Gw sangat cherished trip yang super impromptu ini dan berterima kasih banyak pada teman-teman gw yang siap sedia dalam rencana dadakan ini. Dikarenakan PSBB II kembali diberlakukan, gw berpikir untuk beristirahat sejenak dalam perihal travelling, sembari menunggu kondisi COVID kembali membaik ke era new new normal. Kalau kata Fiersa Besari, sekaligus menabung rindu, agar di episode berikutnya gw bisa all out dan rencananya akan explore destinasi yang lumayan menantang! Thank you very much for reading this blog!
Travelling Trilby Tips:
Hal terakhir yang akan gw share adalah biaya trip untuk one-day trip ini!
Sharing cost (4 pax):
· Bensin – 300,000
· Toll – 150,000 (BTR – KRW – PDL)
· Air + Snack – 48,000
= 124,500 / pax
Personal cost (optional):
· HTM + Parkir – 20,000
· Breakfast – 15,000 (Warung)
· Jajan – 18,000 (Teh+Aqua+Floridina)
· Dinner – 32,000 (Ampera)
· Ojek – 10,000
= 95,000 / pax
In Total 219,500 / pax! Very affordable dan terjangkau dari Jakarta! And that's another hidden gem to share. See you on the next explore!
Hasta La Vista - Travelling Trilby
Comentarios