top of page
  • Writer's pictureTravelling Trilby

Destination: Sukabumi

Hola Chicos! Prospero año nuevo!

Siapa sangka that it has been more than a year since we had the COVID-19 pandemic. Anyway, walaupun pandemi terus berjalan, gw cukup beruntung karena masih bisa ada kesempatan untuk jalan-jalan dan menjalankan my new mission:

“Uncovering hidden gems one at a time, debunking myths kalau Travelling dari Jakarta itu susah”

Di episode pertama di 2021 ini, gw pergi ke destinasi yang sejatinya sering gw kunjungi tapi belum sekalipun pernah gw explore, yaitu Sukabumi. As a matter of fact, kakek dari sisi bokap gw menghabiskan sisa masa hidupnya di Sukabumi dan sejak kecil gw sering ke Sukabumi untuk ‘mudik’. Akan tetapi, pengetahuan gw tentang Sukabumi sangat minim dan terbatas di kampung tempat kakek gw tinggal, yaitu daerah Parung Kuda. So, I never really know Sukabumi, in fact gw bahkan gak pernah ke Sukabumi kota sampai trip kali ini.


Red Zone – Teras Kost

Awal mula trip kali ini berawal dari kost-an tercinta gw di Karawang, yaitu Teras Kost. Gw mulai pindah ke Teras Kost di sekitar bulan April 2020 dan seiring berjalan waktu gw menjadi akrab dengan sekumpulan teman-teman kost yang suka nongkrong di terasnya Teras Kost. Dikarenakan kami adalah perantau di Karawang, maka menjadi aktivitas escape bagi kami untuk saling nongkrong, makan bareng, dan bicara ngalor ngidul tentang topik apapun sepulang dari kantor masing-masing. Perkumpulan ini entah awal mulanya bagaimana menamakan diri kami “Red Zone”, beranggotakan 4 orang: Gw, Bang Panji, Gema, dan Bu Novi.


Di satu masa kejenuhan senin malam, member paling senior aka Bang Panji tiba-tiba melemparkan isu ingin jalan-jalan ke Sukabumi karena melihat satu postingan di Instagram. Sebagai Travelling Trilby, gw pun terpancing dengan isu tersebut dan setelah dipikir-pikir gw belum pernah explore yang namanya Sukabumi. Berawal dari wacana itu pun, gw iseng mencari informasi destinasi di Sukabumi dan menyusun itinerary. Keesokan harinya gw lempar itinerary ke group dan langsung mendapatkan respon “Go!”


Masih dalam minggu yang sama, saking ngebetnya jalan jalan dan dibuatkan konten, tidak tanggung tanggung Bang Panji rela nganterin gw ke Bintaro hanya untuk mengambil drone ke rumah dan balik lagi ke Karawang. Seperti biasa suatu rencana dadakan umumnya malah berhasil kejadian. Tepat di weekend yang sama, Gw, Bang Panji, dan Gema berangkat menuju Sukabumi.


En-Route Sukabumi

Kami berangkat dari Karawang sekitar jam setengah 5 pagi dan langsung mengarahkan diri ke Sukabumi. Rute menuju Sukabumi tidak terlalu sulit, yaitu mengambil tol ke arah Bogor dan dilanjutkan hingga sampai ke tol Bocimi (Bogor – Ciawi – Sukabumi).


Bagi yang pernah ke Sukabumi sebelum adanya tol Bocimi ini pasti tau bahwa jalan menuju Sukabumi adalah jauh dan super-duper macet. Ada banyak titik kemacetan di sepanjang Sukabumi, yang menurut bokap gw sengaja dibuat macet agar bisa mendatangkan pemasukan ke usaha-usaha yang ada di sepanjang jalan. Meskipun tol Bocimi ini baru setengah selesai dan baru membentang sampai ke Cigombong. Namun tol ini sudah sangat memangkas waktu dan perjalanan menuju Sukabumi menjadi lebih bearable. In total, perjalanan kami dari Karawang ke Sukabumi memakan waktu sekitar 3,5 jam dan kami sampai di destinasi pertama kami, yaitu Situ Gunung Suspension Bridge yang terletak di kawasan TN Gn. Gede Pangrango.


Situ Gunung Suspension Bridge

Dari namanya sudah jelas bahwa objek utama dari destinasi ini adalah jembatan gantung (Suspension Bridge) Situ Gunung yang belakangan ini lumayan terkenal di TikTok. Situ Gunung Suspension Bridge ini merupakan sebuah area wisata yang dikelola oleh pihak swasta dan terletak di kawasan TN Gn. Gede Pangrango. Karena dikelolah oleh swasta, maka tidah heran fasilitas dan sarana yang ada di kawasan ini dalam kondisi yang baik dan terjaga.


Ada beberapa jenis paket HTM untuk masuk ke kawasan Situ Gunung Suspension Bridge yang meliputi beberapa ojek wisata lainnya:

· Paket Regular (Rp 50,000): Situ Gunung Suspension Bridge + Curug Sawer

· Paket VIP (Rp 100,000): Paket Reguler (melalui jalur VIP) + Jembatan Merah

· Paket VVIP (Rp 150,000): Paket VIP + Lunch di D’Balcony Resto

· Ekspedisi Lembah Purba: Paket VVIP + Ekspedisi ke Lembah Purba (with guide)


Di trip kali ini kami mengambil paket ‘Ekspedisi Lembah Purba’, yang meliputi trekking selama 6 jam memasuki hutan di TN Gn. Gede Pangrango menuju ke Curug Kembar yang menjadi tujuan utama kami dalam trip ini. Untuk mengikuti ekspedisi Lembah Purba sebaiknya melakukan booking terlebih dahulu, karena kuota hariannya terbatas dengan jumlah guide yang bertugas.


Dibandingkan dengan paket lainnya, harga Ekspedisi Lembah Purba ini memang terhitung jauh lebih tinggi karena experience yang ditawarkan jauh berbeda. Kemudian apabila jumlah orang dalam 1 group kurang dari 4 orang, maka ada biaya tambahan untuk jasa guide. Dikarenakan kami hanya ber 3, maka biaya per orang menjadi Rp 330,000 (Rp 280,000 Ekspedisi Lembah Purba + Rp 50,000 jasa guide per pax).

Setelah melakukan pendaftaran, kami diantar menggunakan mobil caddy menuju meeting point dengan guide di D’Balcony Resto. Di restoran ini, kami mendapatkan welcome drink & snack sambil menunggu guide menyiapkan peralatan untuk ekspedisi. Dari D’Balcony ini kita bisa melihat Situ Gunung Suspension Bridge yang membentang di atas lembah pegunungan Gede Pangrango. Nikmat sekali rasanya menikmati udara segar pagi hari di atas pegunungan sambil menyeruput teh hangat.


Jembatan Terpanjang di Asia Tenggara

Guide kami yang bernama Mas Wahyu datang sambil membawa perlengkapan body harness. Kami berkenalan dan melakukan briefing sebelum memulai trekking ke lembah purba dan juga dijelaskan cara penggunaan body harness. Body harness ini digunakan untuk mengaitkan badan dengan beberapa tali penyelamat di rute-rute yang agak rumit selama trekking ke lembah purba.


Setelah briefing, kami memulai perjalanan menuju Situ Gunung Suspension Bridge. Jembatan gantung yang menjadi objek wisata utama di Situ Gunung ini, disebutkan sebagai jembatan gantung terpanjang di Asia Tenggara. Membentang sepanjang 243 meter di ketinggian 150 meter, jembatan ini gw yakin akan menjadi tantangan berat bagi mereka yang punya phobia ketinggian. Dari atas jembatan, kita bisa melihat jauh ke bawah dan berdiri tinggi di atas pepohonan di Gunung Gede Pangrango. Hal lain yang membuat jantung agak sport ialah karena sistem jembatan yang menggantung, maka apabila ada goyangan di jembatan maka ombang ambing nya bisa terasa di sepanjang jembatan.

Ketika kami berada di suspension bridge, kami sedang sangat sangat beruntung karena kondisinya sedang kosong. Jembatan sepanjang 243 meter ini serasa milik pribadi dan gw rasa ini kejadian yang lumayan langka. Di tengah-tengah jembatan, gw pun mulai mengeluarkan drone dan memulai mengambil konten dari Situ Gunung Suspension Bridge. Untungnya di sekitar jembatan tidak terdapat halangan atau intervensi sinyal, sehingga main drone di sana relatif mudah. Namun apabila menggunakan drone berukuran kecil seperti DJI Mavic Mini, maka perlu berhati-hati dengan high wind yang berhembus di sepanjang lembah.

Sedikit fun fact: Ketika gw sedang asyik main drone, tiba tiba ada Fauzi Baadilah ada di belakang gw.


Ekspedisi Lembah Purba

Setelah selesai menyebrangi suspension bridge, kami memulai trekking menuju lembah purba. Dari exit suspension bridge, ada semacam pintu besi yang menjadi checkpoint mulainya ekspedisi. Salah satu fungsi utama dari guide adalah membuka pintu-pintu besi yang terkunci ini. Jadi apabila tidak mengambil paket ekspedisi Lembah Purba, pengunjung tidak akan bisa explore sendiri.


Menurut gw, experience ekspedisi Lembah Purba benar-benar worth it karena ada banyak point of interest selama ekspedisi. Rute trekking melewati pedalaman hutan di TN Gn. Gede Pangrango yang benar-benar menyegarkan mata dengan kehijauannya. Di sepanjang rute juga kita akan menemui beberapa jenis jembatan dan halang rintang, termasuk sungai, jembatan gantung, berjalan di pinggir tebing, dan yang paling menantang ada jembatan gantung dengan pijakan yang sangat tipis. Di beberapa halang rintang ini, body harness digunakan sebagai alat keselamatan.


Setelah trekking selama sekitar 2 – 3 jam, sampailah kami ke ultimate destination dari ekspedisi ini, yaitu Curug Kembar.


Curug Kembar

Hari itu kami adalah rombongan ekspedisi yang berangkat paling akhir, sehingga rasanya seperti benar-benar hilang di tengah hutan dan menemukan hidden gem. In fact, destinasi curug kembar ini masih terhitung jarang dikunjungi karena meskipun banyak pengunjung yang datang ke Situ Gunung Suspension Bridge, tapi hanya sejumlah kecil pengunjung yang melanjutkan hingga ke Lembah Purba.


Seperti namanya, terdapat 2 aliran yang beriringan. Mendekati ke arah jatuhnya air terjun, ada semacam jembatan kayu aesthetic yang menjadi objek foto yang diidam-idamkan Bang Panji.

Guna memenuhi kewajiban membuat konten, kami menghabiskan waktu dengan puas untuk berfoto di area Curug Kembar. Namun karena Curug Kembar ini memiliki ketinggian yang lumayan tinggi, sehingga terdapat arus air kabut air yang cukup deras di sana dan senantiasa membasahi lensa kamera. Dibutuhkan kerja sama 3 orang untuk mengambil gambar, yaitu satu orang memegang kamera, satu orang menggunakan payung untuk melindungi kamera dari air, dan satu model. Ketika model dan cameraman sudah siap, pemegang payung akan membuka perlindungan, dan cameraman harus segera mengambil gambar dalam selang waktu yang singkat sebelum lensa basah oleh air.


Setelah puas berkonten, kami beristirahat di bawah pohon di dekat air terjun. Mas Wahyu ternyata membawa termos dan cemilan berupa pisang goreng dan singkong. Meneguk teh hangat dan menyantap pisang goreng habis lelah berjalan sambil memandang air terjun yang megah.

Ya seperti inilah my kind of favorite trips.

Sebagai penganut full immersive experience, tidak lengkap rasanya kalau tidak mandi di air terjun. Meskipun Curug Kembar ini bukan tipe curug yang di bawahnya ada kolam untuk berenang, tapi sekedar mengguyur diri di bawah deburan air terjun yang sangat keras menjadi pelengkap trip kali ini. Just a bit of friendly warning: bebatuan di bawah air terjun sangat licin, so be aware of your steps. Di satu momen gw sempat terpeleset batu dan jatuh mendorong bang Panji. Oops.


Glamping Ground, Сurug Sawer, dan Jembatan Merah

Sekitar jam 2 siang, kami memulai kembali perjalanan pulang keluar dari pedalaman Gn. Gede Pangrango. Rute pulang yang kami ambil berbeda dari rute berangkat, dimana kali ini kami melewati jembatan gantung yang melintang panjang dan menanjak. Dari jembatan ini bisa terlihat Curug Kembar dan betapa tinggi dan besarnya air terjun itu. Jembatan gantung yang kami lewati ini sepertinya semacam shortcut yang memotong perjalanan langsung kembali ke dataran tinggi. Sehingga kami tidak perlu melewati sungai dan halang rintang seperti ketika berangkat.


Setelah berjalan sekitar 1 – 1,5 jam, kami sampai di glamping ground dari Situ Gunung. Glamping ground ini merupakan salah satu fasilitas dari kawasan, dimana pengunjung bisa menginap di lodge yang lengkap dengan tempat tidur dan kamar mandi. Harga per malam dari glamping ground ini berkisar Rp 750,000 untuk kapasitas 4 orang dan Rp 1,250,000 untuk kapasitas 6 orang.

Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke Curug Sawer. Curug Sawer ini merupakan salah satu destinasi yang termasuk ke dalam paket regular. Berbeda dari Curug Kembar, Curug Sawer ini ukurannya lebih kecil dan tentunya lebih ramai. Dinamakan Sawer karena katanya, di curug ini merupakan pertemuan dari aliran aliran air terjun yang ada di atasnya, sehingga debit air di Curug Sawer ini benar benar deras.


Destinasi terakhir kami sebelum pulang ialah Jembatan Merah. Jembatan ini merupakan destinasi yang masuk di dalam paket VIP dan merupakan rute pulang bagi pengunjung. Jembatan Merah ini terletak paralel dengan Situ Gunung Suspension Bridge dan dari sini kedua jembatan bisa saling melihat satu sama lain.


Setelah trip selesai, kami kembali ke D’Balcony Resto. Disini kami diberikan makan siang berupa nasi liwet dengan porsi yang cukup banyak. Entah memang rasanya yang enak atau kami terlalu lapar sehabis melakukan trekking selama 6 jam, namun gw ingat kami makan sangat lahap. Setelah selesai makan dengan kenyang, kami pamit dengan Mas Wahyu dan melanjutkan perjalanan ke kota Sukabumi.


The Power of Bang Panji

Salah satu kenikmatan dari trip ke Sukabumi kali ini, ialah kami mendapatkan sponsor untuk penginapan selama di Sukabumi. Ini adalah salah satu kekuatan dari koneksi yang dimiliki bang Panji sebagai manajer di Bank Mandiri, yaitu bisa dipinjamkan rumah dinas Bank Mandiri oleh Direktur setempat. Pada kondisi umum, biasanya rumah dinas hanya diperbolehkan digunakan untuk keperluan pekerjaan. Namun, Bang Panji kebanggan gw ini, memang orang yang punya karisma berlebih, sehingga dengan suka cita bisa dipinjami rumah dinas selama satu malam di Sukabumi. Kita bahkan sampai dikirimi karangan buah sesampainya di lokasi.


Rumah dinas ini lokasinya sangat strategis dana terletak tepat di tengah kota Sukabumi di dekat alun-alun Sukabumi. Adapun fasilitas di dalamnya meliputi 3 kamar tidur, dapur, dan ruang tamu yang besar. Ternyata trekking ekspedisi lembah purba cukup menewaskan kami, sehingga waktu istirahat malam benar-benar kami nikmati. Meskipun awal rencana, kami ingin hunting sunrise di salah satu bukit di Sukabumi, namun rencana tersebut sepakat kami urungkan karena ingin bangun agak lebih siang. Maka tersisa satu destinasi terakhir di trip kali ini, yaitu Curug Bibijilan.


Curug Bibijilan

Curug Bibijilan ini tidak sengaja gw temukan di salah satu artikel di Google ketika sedang mencari informasi tentang Sukabumi. Gw memilih destinasi Curug Bibijilan ini simply karena jaraknya yang hanya 1 jam perjalanan dari pusat kota Sukabumi. In comparison dengan beberapa destinasi lainnya di Sukabumi, yang mayoritas terletak di kawasan Pelabuhan Ratu atau Geopark Ciletuh, yang berjarak sekitar 6-7 jam dari kota Sukabumi. But to my surprise, Curug Bibijilan ini akan jauh melebih ekspektasi gw dan menjadi salah satu hidden gem favorit gw.


Ketika kami sampai di Curug Bibijilan, lokasinya sangat sepi dan kami adalah satu-satunya pengunjung yang ada di sana. Jika dibandingkan dengan kawasan Situ Gunung kemarin, rasanya berbeda 180 derajat dalam hal pengelolaanya. Curug Bibijilan ini dikelola oleh warga setempat dan bahkan penanda jalan serta fasilitasnya sangat minim.


Ketika kami hendak masuk ke Curug Bibijilan, kami didatangi oleh penjaga lokal dan diberitahukan bahwa di Curug Bibijilan memiliki beberapa tingkatan atau undakan. Apabila kami ingin turun sampai ke bawah, maka sebaiknya menggunakan jasa guide untuk keselamatan dan penunjuk jalan. Alhasil, kami pun ditemani oleh salah satu penjaga lokal disana untuk explore 4 undakan dari Curug Bibijilan.


Undakan ke-1

Di undakan pertama Curug Bibijilan, kita akan disuguhkan dengan pemandangan berupa bendungan kecil yang selintas mirip dengan penampakan dari Curug Balong Endah di Bogor. Undakan pertama ini memiliki fungsi kritis sebagai penampungan air untuk sanitasi warga sekitar. Disini kita dapat melihat sistem pengairan yang digunakan, yaitu menggunakan pompa mekanik yang memanfaatkan arus dari air terjun. Maka dari itu, sangat tidak disarankan untuk mandi di undakan pertama di Curug Bibijilan ini.


Undakan ke-2

Undakan kedua lokasinya langsung bergandengan dengan undakan pertama. Di undakan ini terdapat air terjun dengan ketinggian sedang dan di bagian ini sudah diperbolehkan untuk berenang. Gw paling suka ketika berada di air terjun yang membuat diri gw terlihat kecil, dan undakan ini termasuk dalam kategori tersebut. Area di undakan ke-2 ini cukup luas, sehingga bisa mengambil wide shot untuk menunjukkan air terjun.


Rute Trekking

Apabila kita tidak menggunakan guide, maka kita hanya bisa dengan aman untuk mencapai hingga ke undakan ke-2. Selepas dari undakan ini, kita perlu menyusuri air terjun melalui jalur air dan batu. Disini fungsi guide menjadi sangat penting, karena mereka yang tahu batu mana yang bisa diinjak dan bagaimana cara melewati air terjun. Banyak sekali lumut yang ada di bebatuan di rute air, sehingga apabila salah injak akan sangat licin dan fatal terjatuh.


Rute trekking paling susah terletak antara undakan ke-2 menuju ke undakan ke-3 karena melewati serangkaian air terjun dan ada pula rute trekking di hutan. Di Kawasan Curug Bibijlan ini belum ada fasiltas jalan yang mumpuni, sehingga jalan setapaknya masih sangat alami. Masih beralaskan tanah merah, maka rutenya sangat licin dan menurun serta perlu melewati berbagai halang rintang berupa akar pepohonan.


Undakan ke-3

Bagian paling favorit gw dari seluruh Curug Bibijilan ini adalah Undakan ke-3 yang juga memiliki nama lain, yaitu Curug Dadali. Disini keindahan dari Curug Bibijilan benar-benar melampaui ekspektasi gw. Kita akan disuguhkan dengan pemandangan berupa air yang mengalir melalui susunan bebatuan yang cenderung membulat. Susunan bebatuan ini sangat besar dan menjulang, sehingga berada di tengah-tengahnya membuat kita merasa kecil.

I’m falling for the waterfalls

Ketika berada di Undakan ke-3 ini kita perlu ekstra hati-hati karena bebatuannya dipenuhi lumut dan sangat licin. Adapun undakan ke-3 ini bersambung langsung ke tebing menuju undakan berikutnya. Sehingga, apabila kita terpeleset dan jatuh disini, maka sudah bisa dipastikan risikonya berupa fatality. Well, Good places come with its own risk, right?


Undakan ke-4

Apabila tadi gw bilang Undakan ke-3 memiliki struktur bebatauan yang sangat besar, maka di undakan ke-4 ini strukturnya lebih besar dan tinggi lagi. Salah satu bagian unik dari undakan ke-4 ini ialah adanya semacam lekukan yang membentuk gua di tengah-tengah air terjun. Guide kami bilang bahwa, salah satu aktivitas yang biasanya dilakukan di Curug Bibijilan ini ialah caving / canyoneering. Dimana pengunjung akan menuruni air terjun ini menggunakan tali.


Sebenarnya di Curug Bibijilan ini ada 14 undakan hingga ke bagian paling bawah. Namun, semakin ke bawah, jalanan trekking semakin jarang dilewati orang dan semakin sulit. Untuk kita sampai ke undakan ke-4 saja sudah menjadi tantangan yang sangat sulit. Lalu sambil menimbang awan yang sudah terlihat agak mendung, kami memutuskan untuk explore hingga ke undakan ke-4 ini saja.


Curug Bibjilan ini pun menjadi penutup dari episode Sukabumi kali ini. Maklum karena keterbatasan waktu selama 2 hari weekend, kami perlu segera kembali ke Karawang. Perjalanan kali ini membuka mata gw tentang potensi besar dari Sukabumi. Gw yakin gw akan kembali ke Sukabumi, khususnya untuk melanjutkan explore hingga bisa ke Geopark Ciletuh dan hopefully bisa segera gw wujudkan di tahun ini juga. Hasta La Vista Chicos!


441 views

Recent Posts

See All
bottom of page