Hola Chicos!
Sepertinya semangat gw untuk travelling sudah kembali ke titik optimal, dan target gw untuk jalan-jalan setiap bulannya kembali bisa terlaksana. Di bulan Agustus, dengan penuh syukur gw bisa kembali merasakan salah satu pengalaman travelling yang sangat hangat. So here I go, Episode Gn. Prau.
Trip Prau Anti Wacana
Sepulang dari trip ke Paseban, gw kembali bersemangat mencari destinasi untuk travelling berikutnya. Berbagai wacana dan alternatif destinasi gw tawarkan ke teman-teman peminat travelling, namun karena keterbatasan jadwal, diskusi rencana untuk explore menjadi tidak begitu konklusif. Hingga pada suatu sore, di sela-sela coffee break, gw stumble pada satu postingan IG story dari @fiodesygp, mantan pelatih gw di Marching Band Waditra Ganesha (@mbwgitb).
IG Story singkat tentang ajakan naik Gn. Prau di hari kemerdekaan. Awalnya gw hanya iseng bertanya tentang teknis dan estimasi harga, namun memang yang mendadak lah yang biasanya terjadi, dengan cepatnya gw sudah join di dalam group Whatsapp “Trip Prau anti wacana”. Meskipun awalnya gw dipenuhi rasa bersalah, karena seolah meninggalkan rencana dengan teman jalan lainnya, but the urge of getting back to travelling keeps me going.
Dari diskusi dalam group “Trip Prau anti wacana”, didapati masih ada 2 slot kosong untuk trip Gn. Prau ini. Awalnya gw mau share slot ini secara terbuka, namun kadang seperti jodoh, pada waktu dan diskusi yang tepat, gw menawarkan slot ini kepada 2 orang yang kebetulan sedang feeling down dan sangat butuh jalan-jalan a.k.a recharge. Alhasil lengkaplah 7 orang yang menjadi anggota Trip Prau anti Wacana: Fio, Raka, Aries, Alika, Azizah, Mishell, dan Aldi.
Trip Prau anti Wacana ini menggunakan konsep sharing trip untuk biaya transportasi, simaksi, dan sewa peralatan camping kelompok. Meskipun acara ini kita arrange secara mandiri, namun kami dibantu oleh @travel.gunung untuk masalah transportasi, meliputi sewa kendaraan dan driver handal aka Mas Budi.
Perjalanan dimulai pada Jumat malam sebelum long weekend hari kemerdekaan. Adapun peserta dari trip kali ini terjual terpisah, sehingga rute penjemputannya tersebar dari Bogor – Jakarta – Karawang – Bandung. Awalnya gw cemas karena teman-teman yang gw ajak belum kenal sama sekali dengan anggota lain, namun kecemasan gw langsung dibantah ketika melihat Mishell, Fio, dan Alika sudah bercanda dan tertawa bersama layaknya teman lama. Ah! ini dia yang aku suka dari travelling:
everyone is stranger, and everyone is friend.
Penjemputan terakhir di Bandung sekitar jam 11 malam dan kami langsung berangkat menuju ke kawasan Dieng di Wonosobo, Jawa Tengah. Perjalanan dari Bandung menuju Wonosobo memakan waktu sekitar 6 jam, dan di 6 jam tersebut menjadi waktu yang cukup bagi kami untuk mencairkan suasana satu sama lain, sehingga bisa bernyanyi, berbagi cerita, dan bercanda selama perjalanan.
Kawasan Dieng, Wonosobo
Di antara 7 orang di trip ini, Alika & Aries merupakan pemula dalam hal naik gunung, Gw, kak Azizah dan Mishell baru pertama akan naik ke Gn. Prau, sedangkan Fio & Aldi ternyata sudah 3 kali (atau lebih) naik Gn. Prau. Kombinasi sempurna yang diatur oleh alam semesta untuk sebuah trip yang terasa sangat hangat. Sekitar jam 9 pagi kami sampai di kawasan Dieng dan berhenti di Fajar Outdoor selaku tempat kami pick up peralatan camping kelompok dan bertemu guide kami a.k.a kang Achmad.
Di masa new normal ini, ada beberapa persyaratan dokumen yang harus dilengkapi untuk naik ke Gn. Prau, termasuk KTP dan surat keterangan sehat / hasil rapid test (max 7 hari). Kami melakukan cek kesehatan di puskesmas setempat, sekaligus mencari sarapan untuk mengisi tenaga sebelum melakukan pendakian. Ada 2 rute pendakian menuju Gn. Prau, yaitu jalur Patak Banteng dan jalur Dieng. Kami berangkat dan check in di pos Patak Banteng sekitar jam 12 siang untuk daftar simaksi dan melakukan cek kelengkapan peralatan oleh petugas. Sepertinya tidak hanya kami yang berencana naik Gn Prau, karena jumlah pendaki yang mengantri di pos lumayan banyak. Namun perlu dicatat bahwa di masa new normal ini ada pembatasan kuota pendakian sebesar 50%, sebagai salah satu upaya pencegahan penyebaran COVID-19. Masker, buff, dan hand sanitizer menjadi salah satu spek wajib dalam pendakian.
Pendakian Gunung Prau - Jalur Patak Banteng
Meskipun siang itu, pos sedang ditutup untuk jam istirahat, namun berkat jalur belakang a.k.a kang Achmad, kami bisa memulai pendakian lebih awal. Baru saja pendakian di mulai, dan mata kami sudah disuguhi pemandangan Indah berupa hamparan perkebunan hijau dengan latar belakang gunung. Di jalur Patak Banteng ada 3 pos menuju sunrise camp Gn. Prau dengan jarak tempuh kurang lebih 3 – 4 jam. Rute di jalur Patak Banteng lebih pendek namun pendakiannya lebih curam dibanding jalur Dieng yang jalannya agak memutar namun relatif lebih landai. Entah bisa dibilang syukur atau tidak, namun hari kami melakukan pendakian awannya sedang dalam keadaan mendung, sehingga cuaca tidak terlalu panas.
Perjalanan dari Patak Banteng menuju pos 1, tidak terlalu susah karena jalanannya besar diiringi perkebunan. Butuh sekitar 1 jam untuk kami sampai di pos 1: Sikutdewo dan sesampainya disana, mas Achmad menayarankan untuk beristirahat. Because the real challenge starts from here. Dan benar! selepas dari pos 1, barulah jalur pendakian mulai memasuki area pegunungan, dan sepanjang jalan ialah tanjakan seperti anak tangga. Meskipun melelahkan, namun gw cukup enjoy dengan pendakiannya, cause its been a while since I’ve been to a mountain. Tentunya gw sangat semangat untuk terus mengambil gambar dan footage untuk konten #TravellingTrilby
Bagaikan fatamorgana, di tengah-tengah pos 1 dan pos 2, ada sebuah warung yang terletak di atas gunung. Kami mampir untuk beristirahat dan sholat zuhur sembari menunggu semua kembali berkumpul setelah terpisah akibat perbedaan pace mendaki. Di warung ini, dihidangkan tempe mendoan hangat dan cemilan khas wonosobo, yaitu Carica, semacam pepaya kecil yang hanya tumbuh di dataran tinggi Dieng Wonosobo. Memang makanan itu lebih nikmat, ketika disantap habis perjuangan. Tempe mendoan 1000 rupiah dilengkapi sambal kecap sambil menatap pemandangan gunung memulihkan tenaga untuk melanjutkan perjalanan menuju Pos 2: Canggalwalangan.
Setelah pos 2, sudah tidak ada warung fatamorgana dan juga jalur pendakian berupa pijakan anak tangga. Pendakian jadi lebih menantang dan terasa lebih alami, karena hanya bermedan tanah dan akar pohon. Di satu titik menuju pos 3 ada satu bagian yang gw sebut “Tanjakan Setan”, karena mata kita bisa melihat ujung atas tanjakannya, namun kaki serasa mau lepas karena rasanya tak kunjung sampai. Kalau gw ingat kembali, sepertinya pendakian yang paling memakan banyak waktu dan tenaga ialah dari pos 2 ke pos 3 ini.
Sesampainya di Pos 3, pertama kalinya gw menyaksikan aksi pertolongan di atas gunung. Dimana ada seorang wanita yang nampaknya terkena hipotermia, hingga diselimuti alumunium foil dan akhirnya dibopong oleh pendaki lain menuju ke bawah. Sambil menyaksikan kegiatan tersebut, kak Azizah, yang merupakan seorang pengusaha makanan ringan, mulai menyuguhi kami dengan cemilan dari Nusa Food. Konsep makanan yang gw anggap menarik, karena mengolah dan mem-package makanan ringan sehari-hari khas Indonesia ke dalam format yang modern dan instan. Cemilan ini menjadi sumber tenaga yang mampu menghantarkan kami hingga sampai ke sunrise camp Gn. Prau 2565 mdpl.
Sunrise Camp Gn. Prau 2565 mdpl
Menurut Fio, ketertarikan Gn. Prau selain pemandangannya yang menakjubkan ialah gunung ini sangat cocok bagi pendaki pemula. Jalur pendakiannya terhitung cukup mudah dan singkat, dan lokasi campsite-nya berada di puncak gunung, sehingga tidak perlu melakukan summit attack dini hari. Lumayan banyak tenda berwarna warni yang sudah terpasang saat kami sampai, dan beruntunglah kami, karena mas Achmad sudah menyelamatkan satu spot yang sangat ideal untuk mendirikan tenda. Spot kami terletak cukup jauh dari kerumunan pendaki lain, berposisi di pinggir bukit yang menghadap Gn. Sindoro dan Gn. Sumbing, serta memiliki permukaan tanah yang datar untuk mendirikan tenda.
Setelah memasang 3 buah tenda (tenda laki-laki, tenda perempuan, dan tenda makanan), aktivitas dilanjutkan dengan acara masak-memasak. Pilihan yang tepat gw mengajak Aldi ikut trip kali ini, karena ternyata ia sangat mahir dalam perihal memasak di atas gunung. Tidak seperti gw, yang kontribusinya hanyalah dokumentasi dan mengambil konten. Santap sore kami bermenu kentang rebus, sarden, bumbu pecel, dan telur dadar ala Aldi. Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan ketika bisa makan dengan lahap setelah lelah mendaki sambil memandang jajaran gunung di atas awan.
Sore itu cuaca masih mendung dan kabut lumayan tinggi, padahal niat kami adalah untuk menyaksikan sunset dari atas Gn. Prau. Di saat itu lah, gw mengeluarkan jurus sakti gw untuk mengusir kabut, yaitu mantra Frozen. Sedikit context building: Dulu gw merupakan anggota Marching Band dimana Fio adalah pelatihnya. Salah satu event terbesar dalam dunia MB adalah Grand Prix Marching Band. Di tahun 2014, gw menjadi bagian dari tim kompetisi MBWG untuk perlombaan GPMB dengan tema paket yang dibawakan oleh MBWG ialah Frozen. Salah satu lagu yang dibawakan dalam paket Frozen berjudul ‘Vuelie’, yang merupakan opening chanting dari film Frozen. Ya! chanting itu adalah mantra yang gw gunakan untuk mengusir kabut. Meski hanya bercandaan belaka, namun entah bagaimana, ritual chanting ‘Vuelie’ gw berhasil mengusir kabut sore itu. Alhasil kami berangkat menuju bukit di belakang tenda kami untuk menyaksikan sunset dari atas Gn. Prau
Disinari cahaya jingga dari kejauhan, kami menyaksikan lukisan alam berupa pemandangan kawasan Dieng dengan beberapa detil picisan seperti telaga warna, dataran tinggi Dieng, hamparan perkebunan dan area pemukiman. Tepat saja, ketika kami sedang asik menikmati senja, datanglah 3 orang pendaki yang kebetulan membawa bendera merah putih. Dengan muka tembok, Aries berkenalan dengan mereka dan kemudian meminta izin untuk meminjam bendera merah putih. Tidak terbayang rasa bangga pada tanah air ketika mengibarkan bendera merah putih di atas gunung yang sangat Indah itu. Damn! I love Indonesia
Setelah usai menyaksikan sunset, kami melanjutkan sesi kedua masak-memasak untuk santap malam. Menu di malam hari lengkap dengan susu jahe, telur dadar, serta Cuanki & Batagor dari Nusa Food tercinta. Sungguh gw jatuh cinta sama produk bernama Nusa Food ini, yang dengan mudahnya bisa memenuhi rasa lapar dengan citarasa khas Indonesia yang aroi mak mak!. Kalau misal kalian penasaran dengan rasa santap malam kami, bisa dicoba order Nusa Food di Shopee @nusafoodcimahi atau visit IG @katalog.nusafood
Sambil santap malam dan menghangatkan diri dari angin malam yang mulai terasa dingin, entah bagaimana dimulainya, 7 orang asing ini dengan acuhnya mulai berbincang seputar kehidupan asmara, zodiak, kisah patah hati, jodoh, konsep pernikahan, cita-cita, pekerjaan dan arti hidup. Diskusi tak terkurasi antara insinyur, pengusaha, pialang saham, akuntan, konsultan, karyawan, dan karyawati. Tidak ada sanksi, hanya ada keterbukaan dan emosi yang meluap dari 7 orang asing yang nyatanya hanya manusia dengan segudang masalah dan ketidaksempurnaannya masing-masing.
Setelah puas berbagi cerita dan mengeluarkan air mata (untuk sebagian), kami bermaksud menikmati malam sambil memandang bintang-bintang di langit malam. Namun kali ini mantra Frozen tidak cukup ampuh untuk mengusir kabut, hingga bintang hanya bisa disaksikan seiring perginya kabut menutup langit. Namun kami tidak patah semangat, karena malam berkabut itu malah dipenuhi dengan nyanyian lagu-lagu galau Indonesia 2000-an yang terbukti menjadi bahasa pemersatu bangsa.
Entah malam itu, apakah penghuni tenda lain memang tidak bisa bernyanyi atau terlalu lelah dengan pendakiannya, tapi malam itu hanya tenda kami yang banyak bersuara. Malam itu dingin, tapi malam dingin itu terasa hangat. Entah karena asupan batagor dan cuanki? Atau karena bebas meluapkan emosi dari kami yang terbiasa memendam masalah. Cerita di malam itu menjadi inspirasi untuk tulisan gw : Malam dingin yang hangat.
Setelah hampir 4 tahun tidak pernah tidur di tenda, akhirnya cita-cita camping yang tak kunjung sampai bisa terpenuhi juga. Obrolan malam terus berlanjut di dalam tenda. Curhatan dari Aldi di samping gw dan bisik-bisik suara tangis Alika dari tenda sebelah seakan menjadi alunan nina bobo pada malam di Gn. Prau.
Dirgahayu Republik Indonesia ke-75
Ampuhnya obat antimo bagi gw yang light sleeper ini cukup manjur menjaga istirahat gw hingga datangnya pagi hari. Sekitar jam 5 pagi penghuni tenda bangun satu per satu dan bersiap untuk melihat sunrise yang digadang-gadang salah satu sunrise terbaik di Asia Tenggara. Untung saja kabut sudah berkurang dan mulai menunjukkan Gn. Sindoro dan Gn. Sumbing berdiri tegak tepat di seberang tenda kami. Memang bukan main, pemandangan 2 gunung yang menjulang di atas lautan awan sambil disinari mentari pagi dari ufuk timur. Lagi-lagi alam semesta memamerkan keindahannya dan membuat diri merasa kecil.
Ketika langit sudah terlihat cerah dengan langit birunya, lambat laun berbondong pendaki lain menghampiri area tenda kami sambil mengibarkan bendera merah putih. Oh iya! Dirgahayu Republik Indonesia yang ke-75. Betapa beruntungnya gw bisa lahir di tanah air tercinta ini. Beginilah, kita terpaksa lahir di Indonesia. Terpaksa hidup gemah ripah loh jinawi, terpaksa tinggal di zamrud khatulistiwa, terpaksa dibuat kecil oleh laut dan gunungnya, terpaksa dibuat jatuh cinta dengan ibu pertiwi.
Seakan pagi itu tidak bisa menjadi lebih indah lagi, hidangan santap pagi dari koki-koki gunung yang handal serta beragam sisa produk Nusa Food yang masih tersisa, mengisi perut yang sudah keroncongan ini. Jujur rasanya tidak ingin pulang, karena aku masih ingin menikmati perasaan bebas di atas Gn. Prau ini. Rasanya seperti ada beban berat yang terangkat ketika dibuat merasa kecil di mata alam semesta, karena sadar so are our problems.
Pulang melalui Dieng
Sekitar jam 10 pagi, kami mulai membersihkan tenda dan peralatan makan karena sebentar lagi harus kembali ke realita. Seluruh sampah dikumpulkan ke dalam satu kantong plastik besar, sebab wajib hukumnya bagi para pendaki dimanapun untuk membawa turun sampah yang mereka bawa. Meskipun kadang masih terlihat sampah-sampah kecil tertinggal di sekitar sunrise camp, but overall gw cukup takjub dengan kebersihan di atas Gn. Prau.
Jika ketika berangkat kami melewati jalur Patak Banteng, maka di perjalanan pulang ini mas Achmad mengajak untuk pulang melalui jalur Dieng. Selain bisa menyempurnakan perjalanan, jalur Dieng relatif lebih landai dan tentunya kami tidak menolak. Rute di jalur Dieng diawali dengan hamparan Padang rumput yang terbuka di bawah sinar matahari. Dikarenakan sedang musim kemarau, padang rumput berwarna coklat keemasan dari warna daun ilalang kering dan diselingi bunga Daisy yang bermekaran. As I’ve guessed, bagian padang rumput ini memiliki nama panggilan yang lumayan klise, yaitu Teletubbies hill.
Seperti pada jalur Patak Banteng, ada 3 pos di jalur Dieng ini. Di antara pos 3 menuju pos 2, kami sampai pada titik tertinggi dari Gn. Prau, yaitu puncak Gn. Prau 2590 mdpl. Jika gw tidak salah mengerti, maka sunrise camp Gn. Prau 2565 mdpl sejatinya bukan puncak dari Gn. Prau, tapi memang untuk masalah pemandangan, di 2590 mdpl ini pemandangannya tidak semenakjubkan di sunrise camp. Mungkin itu alasannya banyak orang yang sering berdebat masalah ketinggian dari Gn. Prau.
Selepas dari check point 2590 mdpl, it’s all going downhill. Jalur Dieng memang relatif lebih landai, namun jangan disangka rutenya mudah, karena ternyata tanah di pendakian ini lumayan licin. Mungkin ada sekitar 3 kali gw terpeleset, dan untuk masalah waktu, butuh sekitar 4 jam untuk akhirnya bisa sampai ke pos Dieng. Dikarenakan minggu itu adalah long weekend, maka sepanjang jalan banyak berpapasan dengan barisan pendaki yang berjalan menuju arah puncak Gn. Prau.
Lokasi pos Dieng dan pos Patak Banteng letaknya cukup berjauhan. Sambil menunggu mas Budi menjemput kami di Pos Dieng, kami singgah pada satu rest area untuk akhirnya benar-benar mandi membersihkan diri. Mungkin gw lupa mention bahwa di atas Gn. Prau tidak ada toilet umum, so be aware untuk siap siap ber-hal hal di alam terbuka. Tapi gw sih selalu memilih immersive experience, agar lengkap pengalaman bertualangnya.
Sebelum pulang, kami merayakan makan siang bersama dengan menu khas Dieng, yaitu Mie Ongklok. Mie ini semacam mie basah dengan kuah yang kental dan lauk berupa sate. Rasa mie nya agak manis tipikal makanan Jawa Tengah, not really my taste, tapi gw tidak pernah menolak kesempatan untuk mencoba wisata kuliner. Setelah makan, kami berpisah dengan mas Achmad dan melanjutkan perjalanan kembali ke Bandung – Karawang – Jakarta – Bogor.
This trip is surely one of the most memorable and heartwarming trip I've had this year. Siapa sangka petualangan merayakan hari kemerdekaan di atas Gunung Prau menjadi salah satu cerita hangat di tengah masa pandemi COVID-19. Watch here for the footage video of Episode Gunung Prau.
Travelling Trilby Tips:
Seperti biasa, tidak lengkap jika gw tidak share rincian biaya dari perjalanan untuk referensi kalian, so here it is:
Sharing Cost per Pax :
· Transport all in (sewa mobil, tol, parkir, driver) = 390,000
· Simaksi = 30,000
· Sewa / Beli perlengkapan kelompok = 50,000
· Tips guide = 40,000
= 510,000 / pax
Sebagai pelengkap, gw juga share peralatan kelompok dan pribadi yang perlu disiapkan:
Perlengkapan Kelompok :
· Tenda kapasitas 4 – 5 (di new normal, kapasitas tenda dibatasi 50%)
· Kompor + Nesting + Gas
· Flysheet (terpal untuk dipasang di atas tenda agar mencegah bocor jika hujan)
· Trash bag
· Hand Sanitizer & Tissue kelompok
· P3K dan Obat kelompok
· Bahan Makanan Kelompok
Perlengkapan Pribadi :
· (PENTING) Surat keterangan sehat dari klinik / puskesmas / RS
· (PENTING) Masker atau Buff
· (PENTING) Sarung Tangan
· (PENTING) Hand Sanitizer Pribadi
· Tas Carrier sesuai badan
· Ponco / Jas Hujan
· Sepatu (prefer sepatu gunung, tapi sepatu kets juga bisa) + Sendal (untuk bersantai)
· Sleeping Bag + Matras
· Jaket Tebal, kaos kaki tebal, baju ganti
· Senter / Headlamp
· Alat mandi, handuk, dan sikat gigi
· Tissue kering (tidak boleh membawa tissue basah)
· Makanan pribadi + obat pribadi
· (PENTING GA PENTING) Powerbank, kamera, dan peralatan konten
To wrap up, sekian cerita destinasi Gn. Prau kali ini. Feel free to contact me kalau kalian ada pertanyaan seputar trip Gn. Prau ini. Semoga cerita ini bisa menginspirasi kalian untuk explore destinasi baru. Tapi karena sekarang PSBB kembali diterapkan, maka gw menganjurkan untuk kita patuh pada peraturan dan kembali bersabar. Cause most importantly, stay safe for yourself and for others! See you on the next story!
Hasta La Vista – Travelling Trilby
Comments