Hola Chicos! Mucho tiempo sin escribirte
Prologue
Dari sekian bentuk karya yang bisa gw hasilkan dari travelling, blog menjadi hal yang paling susah buat gw tekuni. Mainly karena gw cukup moody dalam menulis, dan ketika udah stuck, bener-bener gak bisa ngelanjutin. Tapi gw stuck bukan karena gaada ide mau nulis apa, justru karena saking banyak hal yang ingin gw ceritakan, sampai bingung bagaimana mengemasnya ke dalam sebuah tulisan.
Tulisan terakhir di blog ini bercerita tentang “Episode Jawa Timur – Destination : Bromo + Banyuwangi”. Sesungguhnya setelah trip itu, di penghujung tahun 2019 sampai awal tahun 2020, gw sangat produktif dalam travelling dan hampir setiap minggu explore destinasi baru. Namun karena sudah terlalu obsolete, maka gw mengurungkan niat untuk melanjutkan tulisan yang sudah berdebu di draft WIX dan sebaiknya memulai lembaran baru. Maka dari itu, izinkan gw untuk mengheningkan cipta sejenak kepada “Las historias que deberían haber sido”:
· Cerita dari Analog
· Episode Jawa Timur – Situbondo & Bondowoso*
· Episode (bukan) Jawa Timur – Jogja
· Episode Jawa Timur – Pacitan*
· Episode Jawa Timur – Madura
· Episode Malaysia
· Episode Travelling & Teaching*
(*) Footage can be seen in video library
COVID – 19
Sedikit bagian yang ingin gw ceritakan dari perjalanan di penghujung tahun 2019, ialah gw semakin jatuh cinta dengan yang namanya travelling. The people I met, the conversations I had, the places I’ve been, the experiences semua berkonspirasi untuk memantapkan hati gw bahwa it’s something that I wanna do with my life and made me decide to take ‘Travelling Trilby’ more than just a hobby. Dari situ, gw menetapakan 2 mimpi baru dalam bucket list “I see myself 2020”: 1) Jalan-jalan setiap bulan & 2) Memulai Open-Trip.
2020 actually starts off pretty good. Bulan Januari gw menghabiskan sisa waktu di Jawa Timur dengan sharing trip ke Pacitan & Madura. In between bahkan sempat explore Malaysia dan bertemu Julie & Wynn. Di bulan Februari gw mengenal komunitas @1000_guru_jakarta dan terpilih untuk bisa join Travelling & Teaching ke MI Lengkong di Ciamis. Hingga akhirnya di Maret gw memberanikan diri untuk announce rencana trip “Rope Jumping” di IG. Well masih jauh untuk dibilang memulai open trip, tapi hitung-hitung bisa jadi kesempatan untuk build experience arrange trip. Surprisingly, sudah ada sekitar 5 orang yang tertarik untuk join dan rencananya sudah gw buat di depan mata.
But then again, manusia hanya bisa berencana. Everything changed when COVID nation attacked. Tahun genap was never my good year, but 2020 may not be the year for everyone. Awalnya gw pikir COVID was just another passing by news, tapi tingkat persebarannya sangat rapid dan gw memutuskan untuk cancel the trip. Not my favourite decision, but look where COVID stands now, it still is a global pandemic. Industri pariwisata menjadi salah satu yang paling terdampak, dan hal ini jadi membuat gw berpikir ulang tentang mimpi-mimpi yang gw kembangkan selama hampir 5 tahun ke belakang, being a full-time traveler.
Tanpa gw sadari Maret, April, Mei, Juni terlewati tanpa 1 travelling pun. Semangat travelling juga perlahan memudar, gw merasa tidak semangat seperti biasa kalau melihat postingan jalan-jalan. And honestly I wasn’t expecting to go on any travel in any time soon.
New Normal
Cerita di post ini berawal dari satu DM innocent “kuy bogor Sabtu ini” dari @sportsedetik, teman yang gw temui dari Travelling & Teaching. Tanpa diskusi panjang terbentuklah group WA dengan nama “Selangkah” serta mengumpulkan 3 teman lain yang mau ikut explore Bogor di akhir Juli.
Saat itu sudah memasuki masa ‘new normal’ dan orang-orang mulai beraktivitas seperti biasa. Termasuk urusan travelling, mulai banyak orang-orang di IG yang gw lihat sudah berani untuk jalan-jalan dan pergi ke kerumunan. Namun entah kenapa saat itu gw masih tidak bersemangat dan (mungkin) mencari-cari alasan ke diri sendiri kalau belum waktunya buat gw kembali travelling. Diskusi alot yang terjadi di group chat, juga hampir beberapa kali memancing gw untuk ketik “kayaknya gw gajadi / kayaknya ini wacana”.
Tapi untungnya gw menahan diri dan berkat @sportsedetik & @mishellarf, sebagai 2 orang paling optimis di “Selangkah” yang mengingatkan gw bahwa dalam travelling, hanya 1 hal yang kita butuh : Yakin. Akhirnya di H-1 jadwal berangkat, mood gw berubah 180⁰ ketika gw merasakan kerinduan yang hakiki saat packing dan memakai Trilby kembali pertama kalinya setelah 4 bulan.
Episode Paseban
Sharing trip kali ini gw berangkat bareng @mishellarf, @sportsedetik, dan @fadhillala. Ini kali ke-2 kita bertemu setelah acara Travelling & Teaching, namun rasanya seolah kami adalah teman lama yang disatukan perasaan yang sama, yaitu kangen jalan-jalan. Everyone is strangers and everyone is friends. Perjalanan kami dimulai dari Mc Donalds TB Simatupang, yang dianggap sebagai titik dengan tangent paling minimal antara Bintaro, BSD, Pancoran, Kemayoran, dan Bogor. Sebenarnya posisi Paseban bukan tepat ada di kota Bogor, tapi lebih dekat ke arah puncak. Tol ke arah puncak ternyata ramai sekali dan tipikal weekend ke arah puncak, pasti ada yang namanya jalur buka tutup. Sebagai @googlelocalguides sejati gw menyerahkan diri kepada @googlemaps untuk menuntun kami melalui jalur alternatif.
Sebenarnya acuan untuk ke Paseban sangat mudah. Dari Cimory Riverside ambil Jl Cilember di kiri dan ikuti sampai Jl Pesantren, kemudian belok kiri dan ikuti 1 arah hingga ke Paseban. Menurut @googlemaps hanya butuh waktu 1,5 jam dari Jakarta untuk sampai ke Paseban, tapi secara actual butuh waktu hampir 4 jam hingga kami sampai di Curug Cibulao. Bukan kendala jarak, tapi kendala medan dengan jalan kecil yang tidak kondusif dan beberapa tanjakan dengan kemiringan yang lumayan setan. Apalagi keberangkatan ini disponsori oleh Datsun Go 1000 cc saya tercinta, yang di setiap tanjakan butuh keikhlasan teman-teman untuk jalan kaki. Meski penuh perjuangan, kami sampai di Curug Cibulao jam 10:30, dan penantian kami akan rasa rindu melihat yang hijau-hijau akhirnya bisa terobati.
Curug Cibulao
Destinasi pertama dan utama dari trip ini ialah Curug Cibulao, a true hidden gem. Destinasi ini sengaja kami pilih dibanding curug terkenal lainnya di sekitar Bogor, karena syarat trip new normal kami ialah agar tempat yang kita kunjungi tidak ramai dan bisa physical distancing. Selain memang tempatnya yang jarang terekspos dan kombinasi dengan medan setan, mungkin menjadi alasan tempat ini masih relatif sepi, hanya ada sekitar 12 motor dan 2 mobil saat kami sampai di sana. Meskipun tidak 100% private, tapi entah kenapa rombongan motor yang datang ke curug Cibulao ini tidak ada yang berenang. Alhasil, ketika kami main di curug, rasanya seperti kolam renang milik pribadi. Di antara pengunjung lain, nampaknya kita yang paling dominan dan paling lama main di Curug Cibulao (maklum isinya pegiat konten).
Curug Cibulao memiliki arti nama ‘air biru’ and it really suits the description. Dengan mata telanjang saja bisa terlihat kalau air di curug ini benar-benar jernih dan berwarna hijau kebiruan. Batuan tebing dengan rambatan akar mengelilingi curug membuat suasana misterius seolah-olah curug ini menjadi pintu masuk menuju area tersembunyi. Kalau kalian lihat dari foto, curug ini terdiri dari dua bagian: curug luar dan curug dalam yang terhubung oleh aliran air terjun kecil. Di masing-masing bagian, airnya dalam dan sangat pas untuk aktivitas berenang. Di antara kedua bagian ini, ada batu yang bisa dipanjat apabila ingin masuk ke bagian curug dalam. Menurut gw, bagian paling keren dari curug ini adalah curug dalam yang benar benar terlihat seperti kolam renang alami pribadi. Berlatar belakang air terjun tinggi yang deras, warna air biru hijau alami dan batu tebing yang mengelilingi curug menjadi pemandangan berkesan dari episode ini.
Momen berenang di Curug Cibulao juga benar-benar menghidupkan kembali semangat travelling gw seolah menjawab kegalauan dalam 4 bulan terakhir akibat COVID. Perasaan ketika air gunung sedingin es menyentuh kulit dan membuat mati rasa sedetik, mengirimkan rasa bergidik ke ujung kepala, lalu perlahan merendam diri ke kolam yang semakin dalam. Badan gw mulai kesenangan bergerak menuju arah bebatuan karena penasaran dengan apa yang ada di balik air terjun kecil pemisah itu. Butuh sedikit tenaga untuk mencengkram dan mendorong diri naik ke atas hingga sampai ke bagian curug dalam. Gw sangat terpukau melihat curug dalam yang kosong dan seketika gw mengambangkan diri terlentang, membiarkan badan terhanyut oleh dorongan dari air terjun. Feeling good, like I should~
Setelah puas meresapi dalam-dalam rasa bebas di tengah-tengah curug dalam, gw tertarik melihat ke ujung batu disisi curug luar. Batu itu berdiri tinggi sekitar 7 meter di atas kolam curug dan digunakan oleh pengunjung untuk aktivitas melompat. Gw jadi bernostalgia pengalaman lompat tebing di Zocalo cenote di Mexico dengan suasana yang serupa. Tentunya gw tidak akan melewatkan kesempatan untuk lompat disini. Gw berdiri di ujung batu paling luar, melihat ke bagian air paling dalam, dan lompat “Geronimo!”. Ternyata memang curug ini terbuat secara alami untuk manusia melakukan cliff jumping. Ketinggian dari batu tempat melompat dan kedalaman air curug menjamin bahwa semua aktivitas bisa dilakukan dengan aman (tentunya harus bisa berenang).
Sebagai content creator, selain menikmati aktivitas di Curug, mengambil gambar dan video menjadi pekerjaan wajib. Seperti takdir bisa berangkat bareng @sportsedetik, @mishellarf, dan @fadhillala karena masing-masing dari mereka memiliki ciri khas kontennya tersendiri. Irfan dengan semangat olahraga dan lompat backflip-nya, Mishell dengan konten story ala ala Selebgram dan busana hijab modis-nya, dan Dhila dengan gadget lengkap kamera SLR dan Drone! Di trip kali ini sama sekali tidak takut untuk masalah stock konten. Kami bermain di Curug Cibulao hampir 3 jam sebelum membersihkan diri untuk melanjutkan perjalanan.
Kampung Paseban
Sekitar 2 KM dari pintu masuk Curug Cibulao, kami sampai pada lapangan bola di Kampung Paseban. Alasan kedua kami pergi ke Paseban, selain pergi ke Curug Cibulao ialah menemani Irfan yang ingin mengunjungi Taman Baca Pelangi di Kampung Paseban. Sebelum melanjutkan aktivitas, kami singgah di warung dan menyantap Indomie seleraku sembari beristirahat sejenak. Kebetulan saat itu, Teh Niki, narasumber untuk Project Irfan tidak ada di tempat karena sedang bertugas di camping ground Paseban.
Dekat dari warung tempat kami makan, ada seorang petani kopi yang sedang merendam biji-biji kopi Paseban. Dengan acuhnya gw mendatangi petani tersebut dan bertanya tentang proses perendaman biji yang dia lakukan. Sambil bercerita, gw diajak ke arah kebun kopi, kemudian ke tempat biji-biji kopi dijemur. Kopi Paseban sendiri ialah kopi arabika dengan ciri khas rasa asam yang ditanam di dataran tinggi.
Petani tersebut bercerita bahwa selama masa COVID, permintaan terhadap kopi sangat menurun dari yang biasanya 100 kuintal menjadi 5 kuintal. Untuk terus dapat menjual kopi, beberapa proses yang sebelumnya tidak mereka lakukan seperti sangrai, jadi dilakukan oleh mereka agar bisa menjual dengan value added yang lebih tinggi. Gw pun mencoba 1 cangkir gilingan Kopi Paseban hangat yang terasa asam sedap dan ampas kopinya yang terasa manis. Memang dalam travelling yang namanya wisata kuliner itu tidak bisa dihindarkan.
Setelah beristirahat di warung, kami diarahkan untuk pergi ke hutan pinus untuk menjemput Teh Niki. Perjalanan dari warung ke hutan pinus mungkin sekitar 300 meter memasuki arah pedalaman hutan. Barisan pohon pinus menjulang tinggi menyambut kami sesampainya di pintu masuk camping ground. Dari kejauhan mulai terlihat warna warni tenda yang terpasang di sana beriringan satu dan lainnya. Sesungguhnya jika besok harinya tidak ada agenda lain, gw sangat ingin impromptu lanjut camping di Paseban. Membayangkan duduk di depan perapian sambil mendengar suara serangga di kejauhan dan melihat bintang di langit malam.
Di tengah-tengah camping ground, kami berkenalan dengan Teh Niki yang sedang bertugas menerima tamu di sana. Teh Niki adalah satu-satunya guru di Kampung Paseban yang mengajar semua murid dari TK hingga SD. Teh Niki sendiri aslinya adalah orang Bogor yang pindah ke Paseban karena menikah dengan warga disana. Karena dulu cita-cita beliau adalah menjadi seorang guru, maka dengan ikhlas ia menawarkan diri menjadi tenaga pengajar di Kampung Paseban. Setelah mengetahui kedatangan kami, ia meminta agar kami bertemu di Taman baca pelangi sembari ia membereskan pekerjaanya di camping ground.
Taman Baca Pelangi
Taman Baca Pelangi adalah sebuah bangunan kecil di pinggir lapangan bola Kampung Paseban yang menjadi pusat pembelajaran bagi anak-anak TK dan SD. Hanya ada 1 ruang kelas di sana, sehingga pada kesehariannya ada pengaturan jadwal kelas pagi dan kelas siang antara murid TK dan SD. Di luar taman baca terdapat area bermain seperti perosotan dan ayunan yang sore itu sedang dipenuhi oleh anak-anak. Di bagian dalam taman baca ada jajaran buku-buku bekas dan sebuah papan tulis kapur serta tumpukan meja lipat yang sudah agak pudar dan lapuk. Teh Niki cerita bahwa peralatan dan buku-buku tersebut merupakan donasi dari lembaga non profit yang peduli terhadap pendidikan di area pedalaman.
Kebetulan project Irfan dan @1000_guru_jakarta ke Paseban adalah untuk wawancara terkait pendidikan di masa COVID pada area pedalaman, sekaligus melakukan open donation untuk Taman Baca Pelangi. Teh Niki bercerita bahwa di Paseban tidak ada sarana untuk melaksanakan pengajaran secara online dan sinyal juga kurang kondusif di sana. Sehingga selama masa COVID, kegiatan belajar mengajar terhenti dan anak-anak lebih memilih untuk membantu di kebun kopi agar bisa mendapatkan uang jajan. Teh Niki seringkali meminjamkan laptop-nya kepada murid-murid yang perlu melaksanakan materi belajar online atau ujian online.
Pengalaman ini sangat berarti buat gw, karena ini merupakan gambaran ideal dari mimpi open trip yang mau gw buat, yaitu ada tambahan aspek social volunteering yang bisa dilakukan untuk membantu warga di sekitar objek wisata. Oh iya, kalau kalian ingin melihat video wawancara dengan Teh Niki bisa dilihat disini.
Jelajah. Sukarela. Selangkah
Setelah melakukan sesi wawancara dengan Teh Niki, kami menghabiskan sore itu dengan bermain bersama anak-anak di Kampung Paseban. Dengan polosnya anak-anak penasaran dengan 4 kakak yang datang dan menyapa mereka dengan senyum hangat. Kami diajak main sepeda di lapangan, ditunjukkan kincir angin dari bambu, serta petasan api (hmm yang ini kurang baik). Dhila lalu mengeluarkan drone-nya dan membuat anak-anak tercengang kegirangan melihat helikopter mini yang terbang di atas mereka. Anak-anak asyik mengejar drone yang mondar mandir sembari mengambil gambar dari wajah bahagia mereka. Ketika hari menjelang senja, kami mengajak anak-anak untuk berfoto bersama lalu berpamitan dengan mereka serta Teh Niki dan ibu-ibu yang ada di warung tempat kami singgah.
Satu momen yang membuat hati gw terhenyuk adalah ketika salah satu dari mereka bilang “Kakak nanti balik lagi kan ke sini?” Padahal kami hanyalah orang asing yang kebetulan datang dan menghabiskan waktu bersama. Ternyata yang namanya kebermanfaatan itu tidak harus dilakukan dengan cara yang sulit atau mahal. Cukup keikhlasan untuk berbagi kepada seasama. What a heartwarming way to close the day.
Selangkah dan Dua Langkah
Di perjalanan pulang dari Kampung Paseban, kami dipenuhi perasaan hangat antara satu sama lain. Diiringi lantunan musik random dari USB mobil Datsun Go, momen nyanyi bersama adalah satu hal favorit gw ketika melakukan sharing trip seperti ini. Sebelum kembali ke Jakarta, kami mampir ke Bogor untuk mencari makan malam. Pilihan makan malam jatuh pada Sate Maranggi 72 yang kami temukan dari rekomendasi @googlemaps. Lokasinya agak jauh dari pusat kota Bogor, tapi tempat itu menutup hari kami dengan santapan yang Delicioso! Kami beruntung, karena tidak lama setelah kami sampai, sate di sana sold out.
Malam itu kami memulai perbincangan tentang Project Selangkah. Konsep sharing trip bagi mereka yang mau jalan-jalan tapi bingung mencari teman jalan. Somehow, konsep ini jauh lebih sesuai buat mimpi gw dibanding konsep open trip, karena setiap trip bisa memiliki destinasi yang baru dan berbeda. Selain itu, dengan konsep sharing trip, maka derita bersama adalah cerita bersama. Dalam konsep ini juga tidak harus selalu ada “penanggung jawab”-nya karena wacana berangkat bisa diajukan oleh siapa saja.
Pembicaraan malam itu mungkin hanya sebuah perbincangan ngalor ngidur malam hari antara teman-teman yang suka jalan-jalan. Tapi buat gw pribadi, ini menjadi suatu mimpi yang ingin gw teruskan dan tekuni. Berawal dari selangkah, ke dua langkah, hingga seterusnya sampai travelling jadi cara hidup gw.
Travelling Trilby Tips:
Hal terakhir yang ingin gw share di tulisan ini adalah biaya trip kali ini yang surprisingly murah banget!
Sharing cost (4 pax):
· Bensin – 150,000
· Toll – 102,000 (BSD – JKT – BGR)
· Parkir mobil – 20,000
= 68,000 / pax
Personal cost (optional):
· Curug Cibulao – 12,000
· Breakfast – 13,000 (Warteg)
· Lunch – 15,000 (Indomie double telor)
· Kopi Paseban – 15,000
· Dinner – 30,000 (Sate Maranggi)
= 85,000 / pax
In Total 153,000 / pax! Ini salah satu trip gw yang paling murah dan terjangkau dari Jakarta. Hopefully episode kali ini bisa inspire kalian untuk menghidupkan kembali semangat travelling yang tertidur . Kalau kalian punya pertanyaan tentang destinasi Paseban, feel free to contact me. Tapi 1 hal penting yang ingin gw highlight adalah COVID masih ada di sekitar kita, jadi selalu jaga kebersihan dan kesehatan selalu yaa.
Hasta La Vista – Travelling Trilby
Comments