Hola Chicos! Como Estas?
I figure this salutation really suits me and people seems to like it, so what do you think if I make this as the signature cheers for #TravellingTrilby?
Anyway, bulan ini gw berhasil memenuhi target untuk pergi jalan-jalan setiap bulan selama 3 bulan terakhir 2019 ini! Unexpectedly destinasi kali ini punya banyak cerita menarik dan menghasilkan konten yang cukup unik juga. Di jalan-jalan kali ini gw bertualang bareng Rendy dan Steven, travel back in time (gak deng), ke tempat dimana teknologi belum ada di masyarakat. Here we were in Desa Suku Baduy.
Awal mula cerita trip ini muncul ketika kita bertiga nonton Perempuan Tanah Jahanam. Waktu itu gw jadi punya ide untuk pergi ke desa terpencil di tengah hutan yang kental budaya lokalnya seperti desa Harjosari yang ada di film. Kebetulan waktu itu ada wacana untuk explore desa suku Baduy. Rendy sama Steven tertarik untuk ikut dan tanpa banyak ribet, gw langsung arrange tripnya.
Cara menuju Desa Suku Baduy?
Desa suku Baduy berlokasi di Lebak, Banten dan untuk sampai kesana kita berangkat menggunakan KRL. KRL ke arah St. Rangkas Bitung cuma berangkat sekitar satu jam sekali dari St. Tanah Abang. Kalau dari St. Rawabuntu sampai St. Rangkas Bitung perjalanannya kurang lebih sekitar 1 jam dan ongkosnya Rp 6,000 sekali jalan. Setelah sampai di St. Rangkas Bitung, misi berikutnya adalah mencari angkot atau mobil elf yang bisa membawa kita menuju desa Ciboleger. Kita jalan menyusuri pasar sampai ke terminal angkot dan menemukan angkot warna biru muda yang ada tulisan “Ciboleger” di depannya. Perjalanan menuju desa Ciboleger ini memakan waktu sekitar 1 – 1,5 jam menyusuri perkampungan dan pematangan sawah. Please be aware! Supir angkot disana nyetirnya agak ekstrem, ngebut, nyelap nyelip, dan lumayan bikin mual sepanjang jalan. Saran gw jangan makan tepat sebelum naik angkot.
Selamat datang di Desa Ciboleger
Desa Ciboleger sendiri merupakan perbatasan menuju desa suku Baduy dan merupakan desa terakhir yang bisa dijangkau oleh kendaraan. Maka dari itu, desa ini jadi semacam pintu masuk menuju kawasan suku Baduy dan juga meeting point bagi pengunjung. Di trip kali ini, gw dibantu oleh hoster @Wisatasukubaduy yang super recommended! Harga tripnya termurah seantero IG, cuma 200k. Sudah termasuk menginap dengan tuan rumah warga suku Baduy dalam, ditemani 2 guide yang super asik, dibantu charter angkot PP dari terminal Rangkas Bitung ke Ciboleger, dan dokumentasi.
Ada 18 orang yang berangkat bareng @Wisatasukubaduy di tanggal 16-17 November kemarin and I always love a making new friends and having good company. Selain 18 peserta dan 2 guide, yang dipanggil Ranger Pink dan Ranger Merah, kita ditemani oleh 5 warga suku Baduy dalam juga. Mereka bertugas menunjukkan jalan dan menyediakan jasa porter dengan harga Rp 50,000 untuk perjalanan pulang pergi. Kita memulai perjalanan dari desa Ciboleger sekitar jam 13:30 dengan dresscode pilihan warna merah delima.
Fun Fact #1: Suku Baduy (atau suku Kanekes) merupakan sebuah suku di daerah Banten yang kehidupannya mengisolasi diri dari perkembangan dunia luar, termasuk transportasi, teknologi, atau sistem (seperti pemerintahan, kesehatan, dan pendidikan). Suku Baduy terbagi menjadi dua, yaitu suku Baduy dalam dan suku Baduy luar. Suku Baduy dalam adalah bagian suku yang masih memegang teguh hukum adat dan membebaskan diri dari perkembangan dunia luar. Mereka adalah yang terkenal dengan ciri khas pakaian hitam atau putih, tidak pakai alas kaki, tidak naik transportasi, dan di kawasan Baduy dalam dilarang mengambil foto serta menggunakan teknologi. Sedangkan Baduy luar adalah bagian suku Baduy yang sudah “terkontaminasi” pengaruh budaya luar, sehingga orang-orangnya sudah ada yang pakai gadget, naik transportasi, bisa berpakaian seperti orang biasa, dan di kawasan baduy luar boleh untuk mengambil foto dan menggunakan teknologi.
Melintasi Desa Suku Baduy Luar
Tidak lama setelah kita mulai jalan dari Ciboleger, kita langsung dikelilingi dengan suasana perkampungan Baduy luar. Jajaran rumah papan kayu dengan atap ijuk dan jalanan batu. Di sepanjang pelataran rumah, digelar hasil kerajinan tangan dan hasil panen untuk dipamerkan dan dijual kepada pengunjung. Beragam warna kain tenun, aksesoris dari akar tumbuhan, ukiran kayu, serta hasil olahan seperti madu dan gula aren merupakan oleh-oleh khas suku Baduy yang memberikan warna terhadap suasana perkampungan di kawasan Baduy luar.
Sebagai pelengkap suasana, aktivitas sehari-hari warga suku Baduy menjadi unsur yang membuat kawasan ini terasa sangat hidup, etnis dan manusiawi. Wanita yang sedang menenun di pelataran rumah, anak kecil yang sedang bermain bertelanjang kaki, bapak tua yang sedang merokok dengan pakaian adat Baduy luar, Ibu-ibu yang sedang menumbuk padi, dan puluhan senyum yang diberikan oleh warga kepada kami jadi pelengkap perasaan dan penyemangat dalam trip kali ini.
Fun Fact #2: Setelah menyusuri pemukiman kampung Baduy luar, akan terlihat jajaran lumbung padi (disebut Leuit) di bagian terluar pemukiman. Di setiap kampung ada puluhan lumbung padi yang digunakan oleh suku Baduy untuk menyimpan pasokan padi hingga berpuluh-puluh tahun lamanya dan merupakan simbol ketahanan pangan. Suku Baduy berusaha untuk memenuhi kebutuhannya secara mandiri akibat terbatasnya hubungan dengan dunia luar. Mata pencaharian utama dari suku Baduy ialah menanam padi, namun beda dari padi yang umumnya ditanam di sawah, suku Baduy menanam padi di tanah tegalan kering di perbukitan. Proses penanaman padi, umumnya dirayakan dalam sebuah tradisi adat yang disebut Ngaseuk Pare.
Awalnya gw kira lumbung padi itu semacam pemakaman karena letaknya jauh dari pemukiman warga. Ternyata ada alasan khusus kenapa lumbung padi diletakkan jauh, yaitu untuk menghidari apabila terjadi kebakaran atau bencana, maka pasokan padi akan tetap aman. Padi di lumbung bisa sampai 200 – 300 ikat sebagai cadangan sampai panen berikutnya. Selain itu, suku Baduy memiliki tradisi tahunan yang disebut Seba Baduy. Pada acara ini suku Baduy akan menyerahkan seserahan hasil bumi kepada pemerintah setempat (dulu sebagai upeti kepada kerajaan) sebagai ungkapan rasa syukur karena telah mendapatkan hasil panen yang melimpah.
7 jam Trekking & 7 Gunung kita lalui…
Melanjutkan perjalanan trekking, umumnya sepanjang jalan kita dikelilingi oleh pepohonan serta pegunungan. Lokasi yang menjadi destinasi akhir kita ialah desa Cibeo, salah satu dari 3 desa Baduy dalam, yang akan ditempuh dengan berjalan kaki melewati sekitar 7 gunung dengan rute yang naik turun.
Buktinya di awal perjalanan, semua peserta masih sangat optimis dan gaada yang mau pakai jasa porter, lalu satu per satu berguguran dan tak terasa warga baduy yang menemani kami sudah full booked sampai harus menggunakan kayu untuk memikul. Untungnya bagi yang enggak porter, ada banyak spot berhenti di sepanjang rute trekking untuk istirahat dan bikin konten. Tapi perlu dicatat bahwa selama disana susah sinyal (secara di tengah hutan yaa).
Ada satu spot foto jembatan yang gw suka, dimana background dari jembatan tersebut adalah overview dari perkampungan Baduy luar dengan atap-atap yang terbuat dari ijuk. It looks so vintage and ethnic. Lalu satu spot lain yang gw suka adalah di suatu sungai sebelum jalan menanjak. Tempat itu bukan spot foto, tapi punya hiburan yang cukup sederhana, yaitu main air sungai. Rasanya cuci muka dengan air gunung setelah lelah berjalan itu SEGER BANGET. Maklum ya anak kota udah jarang banget lihat yang namanya sungai bersih.
Singkat cerita, hari pun sore dan cuaca terlihat mendung. Hujan turun tepat ketika sampai di jembatan perbatasan antara Baduy dalam dan Baduy luar. Mulai dari jembatan itu, kita udah enggak boleh mengaktifkan HP dan mengambil foto. Tadinya berharap bisa berteduh sampai hujan berhenti, tapi kata Rangers, rute berikutnya adalah tanjakan curam lalu turunan, sehingga semakin lama hujan maka akan semakin licin dan susah dilewati. Alhasil kita semua melanjutkan perjalanan dengan menggunakan jas hujan. Sungguh pengalaman yang sangat immersive dan content-able, tapi sayang udah gak bisa foto untuk mengabadikan momen.
Celakanya hujan gak berhenti dan hari pun mulai gelap. Lelah sudah diubun-ubun, jarak antar peserta mulai terbagi ke beberapa kloter, dan rasanya kok gak sampai-sampai? Gw sama Rendy ada di kloter paling belakang dan terpisah dari Steven yang jauh di depan. Rendy sempat terpleset dan teriak marah, mungkin dia sempat menyesal ikut trip ini (hahaha ampun Ren!). Pokoknya jam-jam akhir trekking itu lumayan chaos. Pengelihatan juga terbatas karena di tengah hutan gak ada sumber cahaya, kita pun jalan menggunakan senter dan relay informasi apabila di depan ada halang rintang. Harapan kembali muncul ketika lubung padi mulai terlihat, menandakan pemukiman warga sudah dekat dan akhirnya kita sampai di Desa Cibeo baduy dalam sekitar jam 8 malam. Wow! 7 hours of trekking.
Bermalam di Desa Cibeo, Baduy Dalam
Di desa Cibeo tidak ada lampu dan listrik, suasana malam gelap dan sepi, hanya terlihat cahaya remang dari lampu minyak di dalam rumah-rumah. Anehnya warga disana tidak menggunakan senter saat berjalan malam hari, padahal kita yang pakai senter aja jalannya kesusahan. Kita berlabuh di satu rumah warga, yaitu miliki Ayah Sapri, salah satu yang menemani kita dari awal perjalanan juga. Sebelum masuk rumah, kita bersih-bersih sambil minum teh hangat dicampur tolak angin (ahh~). Di desa Baduy dalam enggak ada yang namanya toilet, jadi semua dilakukan di sungai dekat desa. Ada 1 lagi pantangan di kawasan baduy dalam, yaitu tidak boleh menggunakan sabun, shampoo, odol, dan deterjen lainnya. Ingat ya guys!
Fun Fact #3: Rumah ayah Sapri berjenis rumah panggung kayu dengan 1 pintu, memiliki ruang tengah yang luas berbentuk L, di ujung ruang tengah ada tungku api, dan terdapat 1 kamar tidur yang juga sekaligus dapur. Sebenarnya seluruh rumah di desa Cibeo modelnya sama dan ada aturan bahwa rumah hanya boleh punya 1 pintu yang menghadap ke utara atau selatan, kecuali rumah Puun (kepala adat) yang pintunya menghadap barat. Selain itu, rumah di suku Baduy dibuat secara alami dari kayu dan akar pohon tanpa menggunakan alat bantu seperti paku. Namun rumah-rumah ini cukup kokoh dan bisa bertahan untuk waktu puluhan tahun serta memiliki maintenance berkala. Berbeda dengan rumah suku Baduy luar yang pembuatan rumahnya sudah menggunakan paku dan peralatan serta tidak ada aturan terkait jumlah pintu dan arah hadap rumah.
Di rumah ayah kita berkumpul di ruang tengah dan disuguhkan makan malam dengan lauk nasi, tempe, sambal, sayur asem, dan ikan asin (sayangnya gw, Rendy, Steven gak kebagian ikan asin). Usai perjalanan panjang dari Ciboleger, rasanya makanan sederhana bisa menjadi begitu nikmat. Gw aja kayaknya sampe nambah nasi padahal cuma makan tempe.
Setelah makan malam, acara dilanjutkan dengan malam keakraban. Kita dikenalkan dengan penghuni yang ada di rumah, yaitu Ayah sapri, istrinya Ambuh, dan kedua anaknya yang paling muda, yaitu Kamong dan Amang. Ranger kemudian meminta kita untuk mengumpulkan makanan yang kita bawa (sebelumnya diminta bawa makanan) lalu diadakan semacam upacara simbolis terima kasih kita sebagai pengunjung kepada tuan rumah.
Dari makanan yang dikumpulkan di tengah, masing-masing penghuni rumah diminta mengambil makanan yang menjadi kesukaan mereka. Amang mengambil dua bungkusan kuaci yang ada, Kamong banyak mengambil coklat dan cemilan manis, Ambuh mengambil segala jenis indomie yang ada, dan Ayah mengambil oreo yang dibawa Steven. Entah kenapa gw suka banget dengan ritual ini seperti ketika calon avatar memilih mainannya.
Acara dilanjutkan dengan perkenalan dari masing masing peserta. Malam itu sungguh mencairkan suasana, banyak tawa dan cerita, karena sepanjang hari kita trekking bersama, jujur banyak yang tidak kenal dan gak tahu nama. Setelah perkenalan dari peserta, acara dilanjutkan dengan perkenalan dari Ayah, cerita seputar kehidupan suku Baduy dan sesi tanya jawab. Mungkin sepanjang malam ada sekitar 50-an pertanyaan hingga makrab selesai sekitar jam 11 malam. Hiburan utama di trip kali ini adalah cerita-ceritanya dan mengenal lebih dekat kehidupan warga suku Baduy.
Cerita Ayah Sapri: Keluarga
Ayah bercerita banyak hal, mulai dari kehidupan sehari-hari, hukum adat, dan pengalaman dirinya. Ayah sapri memiliki 8 orang anak, 4 laki-laki dan 4 perempuan. Anak-anaknya yang sudah menikah tinggal di rumah sendiri, yang dibangun bergotong royong oleh warga suku Baduy. Di desa Cibeo sendiri, ada 106 rumah yang dihuni oleh sekitar 600-an warga. Suku Baduy dalam menganut sistem perjodohan, dimana anak laki-laki dipilihkan jodohnya di umur 20 tahun dan perempuan di umur 15 tahun. Warga suku Baduy dalam umumnya menjodohkan anaknya dengan sesama warga suku Baduy dalam, dan sebelum menikah dilakukan semacam pertunangan terlebih dahulu. Acara pernikahan di Baduy dalam dirayakan selama 3 hari 3 malam dan umumnya juga mengundang tamu dari Baduy luar dan kenalan yang ada di luar suku Baduy.
Kata ayah, meski awalnya tidak saling suka, lama kelamaan juga terbiasa dan tumbuh rasa cinta. In the end, harus belajar ikhlas demi kebaikan anak dan juga suku. Di suku Baduy dalam tidak diperbolehkan adanya perceraian sehingga harus make it work. In any case, anak suku Baduy dalam bisa meminta untuk menikah dengan warga suku Baduy luar, namun harus dengan persetujuan Puun (kepala adat). Apabila disetujui, maka yang bersangkutan biasanya pindah ke Baduy luar setelah menikah. Sedikit kejadian dimana, non-suku Baduy dalam diperbolehkan pindah dan tinggal di Baduy dalam (biasanya juga pada tidak mau).
Cerita Ayah Sapri: Aturan Adat
Suku Baduy dalam memiliki banyak aturan adat dan sangat taat. Akan tetapi aturan-aturan ini sifatnya diturunkan turun temurun secara lisan dan tidak ada rulebooknya. Di masing-masing desa ada seorang kepala adat yang dipanggil Puun, yang umumnya mengambil keputusan dan menyelesaikan segala perkara yang ada di Baduy dalam. Suku Baduy dalam sendiri menganut kepercayaan sunda wiwitan dan sangat menghormati keseimbangan alam. Kalau kata ayah, “Kekuatan suku Baduy adalah kejujuran”, karena menurutnya pertengkaran dan kebohongan tidak akan memberikan manfaat bagi siapapun. Maka dari itu, di Baduy dalam minim terjadi yang namanya konflik serta pertikaian dan penduduknya terlihat sangat akrab dan dekat satu sama lain.
Mendengar cerita ayah tentang hukum adat membuat kita bertanya-tanya “Kenapa gaboleh naik kendaraan?”, “Kenapa orang asing dilarang ke Baduy?”, “Alasannya gak boleh foto di baduy dalam apa?” dan puluhan pertanyaan “kenapa” lainnya. Tapi jawabannya pasti seputar “Hukum adatnya begitu, dari dulu juga begitu”. Ini membuat gw terketuk hati dan kasihan, bahwa ada sekumpulan orang yang hidup terbatasi oleh peraturan yang mereka saja gak paham alasannya apa. Ketaatan dan keteguhan suku Baduy dalam patut diacungi jempol. Ada yang bertanya “Ayah pernah gak sih tergoda untuk melanggar?” dan ayah menjawab bahwa dulu pas muda sempat terpikirkan, namun selalu kembali berhenti sejenak dan memikirkan untuk jangka waktu yang panjang. Katanya kalau semua warga Baduy memilih untuk melanggar dan meninggalkan Baduy dalam, lantas siapa yang akan menjaga adat serta suku Baduy dalam. Wow. Respect!
Cerita Ayah Sapri: Berkelana
Meskipun suku Baduy dalam tinggal di daerah Banten, namun sedikit sekali penduduknya yang memiliki KTP. Mereka juga tidak melibatkan diri dalam perkara pemilu dan sebagainya karena dianggap ikut-ikutan dengan kegiatan dunia luar. Tapi jangan salah! Mereka ternyata tidak se-kuper itu dan tetap update dengan berita dan trend yang terjadi. Si Zaku aja ngerti sama yang namanya boomerang dan gaya foto saranghae.
Laki-laki suku Baduy dalam memang punya kebiasaan untuk berkelana ke luar desa untuk melihat dunia luar. Maka dari itu, tidak heran kalau kita sering melihat suku Baduy di pinggir jalan.
Ayah cerita bahwa saat muda dia pernah jalan paling jauh sampai ke Bekasi dan Puncak selama 5 hari. Ayah juga pernah nonton bioskop, ke Monas, ke mall Taman Anggrek (Ayah bercerita dengan sangat berseri-seri, pokoknya enggak kalah sama kita). Sedangkan warga desa Cibeo yang paling jauh pernah jalan kaki sampai ke Bandung! Suku Baduy umumnya bepergian untuk berjualan hasil panen dan kerajinan serta bertamu ke tempat kenalan atau teman yang mereka punya. Pada dasarnya warga Baduy orangnya terbuka dan senang untuk berkenalan. Jadi jangan heran kalau di akhir trip kita dimintai nomor telepon serta alamat rumah, karena bisa saja suatu hari mereka datang ke tempat kita.
Selama berkelana mereka biasa menginap di tempat mereka bertamu, atau bisa juga tidur di kantor polisi terdekat. Orang suku baduy yang sering berkelana umumnya memiliki KTP agar bisa dipertanggung jawabkan apabila terjadi apa-apa. Dari kecil anak laki-laki sudah dianjurkan untuk berkelana, meskipun tidak ada paksaan harus. Namun selama keluar, mereka tetap harus menjaga hukum adat, khususnya tidak boleh menggunakan alas kaki, transportasi, pantang makan kambing dan makanan haram, serta dilarang berzinah. Katanya apabila melanggar, biasanya terkena penyakit yang tidak sembuh-sembuh. Mereka harus meminta restu ke kepala adat, kemudian diasingkan di baduy luar selama 40 hari untuk pemulihan, dan dipekerjakan tanpa diberi upah sebagai penebusan.
Pagi hari di Desa Cibeo, Baduy Dalam
Setelah acara malam keakraban ditutup, hampir semuanya langsung memilih untuk tidur tersebar di sepanjang ruang tengah. Meski hanya tidur di atas dasar papan, berbantalkan tas, dan berselimut jaket, ternyata kelelahan usai trekking gak membuat pikir panjang lebar dan langsung jadi obat bius (alias tepar). Tapi di sekitar waktu subuh, gw mulai gelisah dan setengah sadar karena udaranya jadi dingin banget! Meski bukan di dataran tinggi dan habis hujan, sepertinya hidup di sekitar alam itu punya efek fresh & natural tersendiri kali ya? Jadi panasnya di kota-kota itu bukan lain adalah ulah dari polusi dan global warming. Gw akhirnya memilih untuk bangun dan pindah menghangatkan badan di depan tungku api sambil minum teh hangat. Akibat malam keakraban kemarin, ngobrol dengan sesama peserta jadi sangat cair dan pagi hari diisi dengan bercengkerama layaknya teman lama.
Sekitar jam 6 pagi, cahaya di luar sudah mulai cerah dan gw mau melihat penampakan desa suku Baduy dalam (sekaligus pergi ke sungai). Suasana desa suku Baduy dalam terlihat lebih damai, tentram dan sepi dibandingkan dengan Baduy luar. Kalau di Baduy luar masih terlihat bungkusan dan warni warni jualan, di sini hanya terdapat hamparan rumah kayu polos yang ditengahi jalanan batu. Rumahnya seperti diceritakan, modelnya sama dan tersusun dengan rapi. Secara geografis, desa Cibeo ini semacam dikelilingi gunung, sehingga kemana arah memandang seperti tenggelam di bawah gunung. Setelah berjalan sedikit, ada semacam lapang kosong di tengah-tengah perumahan, yang sepertinya biasa digunakan untuk acara besar atau tradisi adat. Ternyata malam itu ada beberapa rombongan lainnya yang menginap di desa Cibeo dan terlihat sedang berkumpul di lapangan itu. Ada juga pengunjung yang sedang duduk di sekitar lapangan sambil menggambar suasana desa Baduy dalam (sayang sekali gw gak bakat menggambar).
Fun Fact #4: Di desa ini banyak anak kecilnya, sekumpulan anak laki-laki dan perempuan sedang berjalan telanjang kaki menuju ke arah sungai dengan pakaian khas suku Baduy dalam, sepertinya mau mandi pagi. Oh iya! Anak laki-laki di suku Baduy mulai dari umur 5 tahun sudah diberikan hadiah golok dan mereka bawa kemana-mana untuk keperluan di ladang juga bertahan hidup. Kalau anak perempuan mulai dari sekitar umur 6 tahun sudah diajarkan untuk menenun dan juga berladang.
Anak-anak suku Baduy dalam tidak sekolah dan tidak ada yang namanya guru, tapi mereka diajarkan oleh orang tuanya keahlian untuk bertahan hidup seperti cara berladang, menangkap hewan, dan lain-lain. Meski tidak sekolah, tidak sedikit warga Baduy dalam yang belajar secara otodidak dan bisa membaca, menulis, serta berhitung. Alasan mereka belajar ialah karena sekarang mulai ramai pengunjung dan mereka sadar bahwa tidak semua orang luar itu baik, sehingga belajar agar tidak mudah dibodoh-bodohi.
Oh ini rasanya mandi di sungai…
Setelah puas berkeliling desa, gw mau mencoba rasanya mandi di sungai. Sambil membawa baju ganti dan sikat gigi (tanpa odol), gw mencari spot mandi di sepanjang sungai yang airnya dalam dan tidak ada orang. Tapi kemudian gw lihat 3 anak laki-laki lagi bertelanjang bulat mandi di sungai dan gw pun memilih ikutan mandi di sana. Jujur! Gw bingung cara mandi di sungai… Setelah melepaskan pakaian dan celana, rasanya enggan kalau harus bertelanjang bulat, padahal anak-anak itu dengan acuhnya sambil bermain. Akhirnya gw mandi tetap mengenakan celana dalam. Karena tidak boleh pakai sabun dan shampo, gw juga bingung harus gosok badan sampai kapan dan gimana cara tahu udah bersih atau belum. Tapi sumpah air sungai di sana rasanya sejuk dan seger banget bikin badan fresh.
Kebingungan gw kemudian makin menjadi ketika ada 3 perempuan dari rombongan lain yang tiba-tiba muncul dan lewat tempat gw mandi. It’s awkward and I don’t know what to do. Gw pun mencari bagian sungai yang paling dalam, berjongkok, dan membelakangi 3 perempuan itu. Mungkin kalau dilihat, waktu itu gw seperti jin kodok. Tapi lebih chaosnya, pas gw membelakangi 3 perempuan itu, tepat dari sisi depan gw muncul 2 lagi perempuan. Sambil jongkok gw mendongak ke atas dan melihat mereka berdiri di depan. I bet it’s awkward for them too. Jadi gw paham bahwa kita semua saling sepakat untuk menganggap satu sama lain tidak ada.
Sesampainya di rumah ayah, ternyata yang lain lagi sarapan pagi. Kita disuguhkan nasi goreng, telur, mie goreng, tempe, dan sambal. Kali ini gw gak mau kehabisan lauk, jadi langsung duduk paling depan dan untungnya masih dapat telor dan nasi goreng. Selesai makan, kita istirahat sejenak dan packing barang. Ayah Sapri menawarkan madu asli dan kerajinan tangan untuk dijual sebagai oleh-oleh. Gw beli satu kerajinan kayu untuk memenuhi totem setiap kali gw jalan-jalan. Sekitar jam 8 pagi, kita pamit kepada Ambuh, Amang, dan Kamong untuk memulai perjalanan pulang.
Perjalanan Pulang
Kalau kemarin saat berangkat kita ditemani 5 orang suku Baduy dalam, kali ini hanya ditemani oleh 2 orang, yaitu Zaku dan Ayah Sapri. Si kecil Kamong dan Win tidak ikut mengantar pulang, untungnya kemarin sudah minta foto bareng untuk kenang-kenangan. Rute yang dilewati untuk pulang pun berbeda (tapi tetap 6 jam juga), namun medannya tidak seberat kemarin, karena di awal langsung rute menanjak tinggi dan setengah jalan ke belakang medannya menurun dan landai.
Setelah sekitar 1,5 jam perjalanan, kita beristirahat di sebuah saung di ladang dan telah masuk kawasan Baduy luar. Namanya orang kota dan budak teknologi, HP dan gadget langsung diaktifkan kembali dan rasanya seperti orang baru pulang dari pesantren kilat. Kita pun langsung bergantian minta foto bareng dengan Ayah Sapri dan Zaku. Mungkin karena suasanya sudah cair, jadi tidak sungkan untuk meminta foto ke Ayah Sapri seperti kemarin.
Sebenarnya gak cuma foto sih, perjalanan hari kedua juga terasa lebih ringan karena ada temen ngobrolnya, sehingga terdistraksi dari perasaan lelah dan pegal.
Sepanjang perjalanan keluar dari hutan pegunungan Baduy, kita melewati sekitar 3 – 4 perkampungan Baduy luar. Karena sekarang kita datang dari arah turun gunung, jadi pemandangan pemukiman Baduy luar terlihat dengan jelas dengan barisan atap ijuknya yang tersusun rapi. Tetap dengan kehangatan yang sama, suasana di suku Baduy memang terasa sangat ramah dan terbuka, baik di Baduy dalam maupun Baduy luar.
Last Checkpoint : Jembatan Akar
1 jam sebelum sampai kembali di desa Ciboleger, kita berhenti di spot foto terakhir dari trip suku Baduy ini, yaitu jembatan akar. Gak dijelaskan juga asal usul atau fungsi khusus dari jembatan ini, tapi memang penampilannya sangat magis. Jembatan kayu ini terlihat menyatu dengan sebuah pohon besar dan akar-akarnya merambat sekeliling sisi samping dari jembatan. Konon katanya, jembatan ini tercipta secara alami tanpa bantuan alat selama 50 - 70 tahun lamanya. Lorong masuk jembatan ini terlihat seperti gerbang masuk ke spirit world (back with avatar reference).
Setelah giliran gw difoto di jembatan akar, dengan sotoynya gw nyebrang dan jalan duluan lalu nungguin yang lainnya di sisi seberang sungai. Mungkin ada sekitar 15 - 20 menitan gw nunggu sendirian, tapi yang lain gak dateng-dateng. Taunya rute pulangnya gak nyebrangin jembatan (krik krik). Ketika gw balik, yang lagi sesi foto ternyata udah kloter yang paling terakhir. Gw kemudian jalan bareng kloter terakhir dan karena kita merasa udah ketinggalan jauh, akhirnya waktu di jalan besar, kita naik ojek buat nyusul ke Ciboleger. Kita sampai duluan wkwk.
Bukan dunia yang sempit, tapi dunia kita yang meluas
Di Ciboleger kita berpisah dengan Ayah Sapri dan Zaku. Mereka meminta nomor telepon dan alamat dari masing-masing kita, katanya kapan-kapan mau berkunjung (Huuu :’’ ambyarr, sedih dan kagum banget sama ketulusan mereka). Sayangnya kita gak sempat foto bareng untuk terakhir kali dengan mereka, karena gw, Rendy, dan Steven lagi makan bakso pas mereka undur diri yang terakhir kalinya.
Sekian cerita #TravellingTrilby untuk destinasi Desa Suku Baduy. Semoga bisa menginspirasi dan menambahkan alternatif destinasi travel kalian. Trip ini salah satu yang paling produktif buat gw karena banyak banget cerita dan inspirasi untuk berkarya. Boleh loh guys check footage video #TravellingTrilby - Episode Desa Suku Baduy. Destinasi ini memang bukan top of the mind, tapi bisa jadi pengalaman yang top of the heart.
Hasta La Vista! - Travelling Trilby
Comments