top of page
  • Writer's pictureTravelling Trilby

Ribuan Langkah menuju "Selangkah"

Updated: Aug 28, 2020

Hola Chicos! Gak kerasa sudah sekitar 5 tahun dari pertama kali gw memutuskan untuk mendalami “Travelling”. It’s been a long journey of self-development. For me, my travels have never been a “vacation”, but more of a “process”. Sebelum gw melanjutkan blog ini dengan kelanjutan episode #TravellingTrilby, gw ingin merangkum gejolak pikiran dan keresahan yang berkembang selama gw berproses menjadi seorang “Travelling Trilby”.


Bali, 2015

Volunteering untuk International Student Energy Summit 2015 menjadi 2 minggu paling life-changing di masa kuliah. Ini pertama kalinya gw travelling sama temen, bareng @marsyachairuna, @aghniamarsha, @levy.aninditio, @angie.putri, Miqdad. I started to fell in love with the concept of travelling. ISES 2015 opens up my boundaries, mempertemukan gw dengan banyak teman dari berbagai belahan dunia, memperkenalkan gw dengan organisasi ISES, dan menjadi awal mula ketertarikan dalam belajar bahasa or more accurately being a citizen of the world.


Pada suatu pagi di Bali, gw sedang jalan di Legian dan melihat topi jerami berwarna putih kekuningan yang terpajang di pelataran. Waktu pertama gw tawar, penjualnya gak mau kasih harga lebih murah, dan gw pergi dari toko itu. Setelah jalan sekitar 300 meter, entah kenapa gw terus terbayang dengan topi itu, dan akhirnya lari balik lagi untuk membeli. That’s my first time having “Trilby”, which turns out to be my travelling companion ever since.


Singapore, 2016

Di awal tahun 2016, pertama kalinya dalam hidup gw solo travelling. Bermodalkan tabungan mahasiswa seadanya, mencari tiket pesawat murah, hostel murah, informasi destinasi gratis dan membuat itinerary travel sendiri. Walaupun hanya ke Singapore yang notabene negara aman, tapi deep inside gw was-was akan pengalaman pertama solo travelling ini. Jika kilas balik, mungkin gw terlihat katro dan overprepared, dengan segala macam bawaan dan teknik menyimpan uang in case terjadi sesuatu selama disana.


Sebelum berangkat gw sudah research detil tentang destinasi yang akan gw datangi, rute jalanan, dan kendaraan umum yang harus digunakan. Itinerary gw menjadi kitab selama travelling dan ini menjadi kebiasaan yang gw bawa pada travelling berikutnya. Seiring perjalanan, rasa was-was yang gw punya perlahan memudar dan menjadi pure rush of excitement.


Di pengalaman solo travelling ini gw banyak belajar tentang diri gw sendiri. 3 hari berada di tanah asing dengan diri sendiri, memberikan waktu yang cukup banyak untuk berkontemplasi. Kalau gw ingat, banyak sekali momen kecil yang membuat gw berpikir tentang hidup, keinginan, masa depan, dan mimpi. One thing for sure: I love travelling.


Di trip ini gw mulai memiliki ide untuk mengonsep feeds Instagram gw. Bagaimana caranya masing-masing dari foto bisa bercerita dengan sendirinya, dan lebih besar lagi, bagaimana setiap foto di feeds memiliki kesinambungan dan sebuah garis besar. Waktu itu “Trilby” belum punya nama, tapi ia menjadi objek yang konsisten ada di dalam foto gw. Dari sinilah asal usul Trilby menjadi hal yang tidak terlepas dari gw saat travelling, sudah menjadi semacam spek wajib.


Jogja, 2017

Tahun 2017 menjadi tahun yang baik buat Travelling Trilby. Banyak kesempatan yang gw dapatkan untuk travelling, mulai dari mengikuti lomba, acara kampus, magang, atau sekedar mengikuti ajakan jalan-jalan dari teman. Kesempatan-kesempatan ini menempatkan gw di waktu yang tepat untuk bisa mulai explore Indonesia satu per satu. Satu trip yang menjadi important stepping stone dalam taste travelling gw adalah Jogja.


Jogja di 2017 merupakan trip lanjutan setelah acara kuliah lapangan di Bali. Kebetulan rute pulang dari Bali ke Bandung saat itu melewati kota Jogja. Dari jauh hari gw memutuskan untuk tinggal dan extend sisa waktu liburan gw di Jogja. Saat itu gw pikirnya, kalau extend di Bali kontennya akan terasa sangat monoton, dan gw lebih prefer explore destinasi baru agar terasa lebih travelling.


Partner gw saat itu adalah @rendyrdy yang kebetulan sedang libur dan datang menyusul ke Jogja. Kami menyewa motor dan pergi mengunjungi destinasi yang belum pernah kami berdua datangi di Jogja. Sebelumnya gw sudah pernah ke Jogja bareng keluarga, tapi ya tipikal liburan keluarga, destinasi-nya tidak jauh-jauh dari Malioboro dan Candi Borobudur. Destinasi pilihan kami, yaitu Pantai Timang, Pantai Pok Tunggal, dan Gumuk Pasir Parangkusumo terletak lumayan jauh dari pusat kota, dan ini menjadi kali pertama gw explore bermodalkan motor sewaan dan @googlemaps.


Pantai Timang in particular, merupakan destinasi favorit gw dari trip Jogja ini. Bisa dibilang Pantai Timang adalah hidden gem Indonesia pertama yang gw temui. Lokasinya yang hampir 3 jam dari pusat kota Jogja, sinyal yang datang dan pergi, serta infrastruktur jalanan yang tidak memadai menjadi bumbu punyedap untuk cerita trip ini. Di satu titik, gw hampir sempat mengurungkan niat, akibat jalanannya yang masih berupa batuan membuat sakit pantat sepanjang jalan dan berpotensi merusak motor sewaan kami. Alhasil, di tengah jalan kami berdua memarkir motor di warung terdekat untuk melanjutkan perjalanan dengan ojeg oleh warga lokal (sekaligus mencegah agar tidak hilang di tengah hutan Gunung Kidul).


Satu ciri khas dari Pantai Timang adalah sebuah kereta gantung tali yang terhubung dengan batuan karang yang ada di tengah laut. Kereta gantung itu biasanya digunakan oleh pemancing / warga lokal disana untuk menangkap ikan di laut. Kalau sekarang gw lihat di internet sih sudah mulai ramai pengunjung dan ada jembatan yang mengubungkan antara dataran dan batu karang itu. Anyway, the view in Pantai Timang is astounding! Seems nothing like I’ve ever seen before. Pemandangan ini adalah jenis pemandangan yang sebelumnya hanya bisa gw lihat di akun-akun travel di Instagram, and I was there.


Ada rasa puas dan sense of achievement bisa mengunjungi lokasi hidden gem seperti ini. Gejolak pikir gw saat itu mengawali mimpi gw: “I want to explore Indonesia and uncover more hidden gems”. Tapi dari sana gw mulai berpikir akan potensi lokasi pariwisata di Indonesia seperti Pantai Timang ini, yang minim infrastruktur dan pengelolaan yang proper, sehingga tidak bisa mendukung kehidupan warga di sekitarnya. Kegelisahan gw terhadap pariwisata lokal di Indonesia mulai tumbuh, dan cerita di Pantai Timang ini menjadi topik pembahasan utama dalam submission esai gw untuk program “Future Leader Summit”. Singkat cerita, tulisan gw ini mengantarkan gw terpilih menjadi peserta room tourism untuk acara FLS di Semarang di tahun 2017.


Oh iya, another important moment dari trip Jogja ini adalah at one point on the trip, gw berantem sama Rendy. The main reason I was upset was that he lost my “Trilby”. Ada sekitar setengah hari kita gak ngobrol (padahal bonceng-boncengan), tapi gw jadi belajar bahwa di travelling, kita gak cuma bisa mengenal diri kita sendiri tapi aslinya dari orang lain. Mungkin ini yang dimaksud dalam quotes “You don’t really know somebody until you travel with them”. However, kita baikan kok at the end, meskipun bear in mind bahwa di titik ini I lost my beloved Trilby.


Mexico, 2017

As I’ve mentioned, Tahun 2017 adalah tahun yang baik buat Travelling Trilby, karena di tahun yang sama gw bisa pergi ke México. Sebelumnya gw cuma pernah 2 kali ke luar negeri, yaitu Singapore dan Malaysia, so it’s kinda weird that my 3rd country would be somewhere right across the globe. Alasan gw ke México adalah untuk mengikuti International Student Energy Summit 2017. Yes, the same summit I joined in 2015, tapi kalau waktu itu sebagai volunteer, kali ini gw pergi sebagai delegasi Indonesia. Effort gw untuk berangkat lumayan sulit, karena harus mencari sponsor untuk biaya keberangkatan, but it was all worthed at the end. Percayalah kalau kalian masih mahasiswa dan membaca tulisan ini, bahwa the opportunity to travel the world as a university student is open wide.


Singkat cerita, berangkatlah gw ke México selama 3 minggu. Gw gak akan menceritakan the whole trip, tapi disini gw mau bercerita tentang seberapa pentingnya punya kenalan atau koneksi dalam travelling. Di ISES 2015, gw lumayan banyak kenalan dengan orang México, they are kind and very approachable, dan dengan beberapa orang I managed to stay in contact and become friends. Sebelum berangkat, gw contact satu teman México dan fortunate enough dia mau bantu jemput, shelter dan ngajak gw keliling México City. So really, jangan pernah membatasi diri kalian untuk berteman, make as much as you can, as wide as you can. Kita gak pernah tahu kesempatan apa saja yang bisa kita punya di depan nanti.


Moving on, main event dari ISES 2017 ada di Mérida and it’s another flight from Mexico City. ISES 2017 in a nutshell adalah sebuah konferensi untuk mahasiswa dari seluruh dunia terkait topik energy & sustainability. Di ISES ini gw bisa ketemu lagi dengan beberapa teman dari ISES 2015 (sebelumnya mereka delegates, sekarang mereka jadi panitia) dan akhirnya bisa mengaplikasikan bahasa Spanyol yang sudah gw pelajari dan latih selama hampir 2 tahun. ISES 2017 is one of the best moment in my life. Moreover, I can indulge myself in Mexican culture and really fell in love with it. Mexico has a special place in my heart, that’s why all the “Hola Chicos” and my Mexican vibes was actually affected by this trip.


Pada malam kedua di Mérida, kami merayakan welcoming party di pusat kota. Mérida sendiri merupakan kota wisata di México, sehingga pada malam hari ada semacam night market. Malam itu, sambil sightseeing, kami masuk ke satu toko oleh-oleh disana. Gw bukan tipe orang yang biasa beli oleh-oleh, tapi di satu sisi dekat counter ada satu barang yang menarik perhatian gw. Topi bewarna putih kuning yang sama, bentuk yang sama, pita hitam melingkar, dan postur yang terlihat lebih gagah dari Trilby gw yang hilang. Tanpa berpikir 2 kali, gw membeli topi yang ternyata buatan dari Panama itu. Trilby is finally back! Trilby ini lah yang sampai sekarang masih terus gw pakai.


Satu agenda penting dari pengalaman ISES 2017 adalah community contribution program. Program ini sifatnya additional and selected, karena gak semua peserta bisa ikut program ini. Di community contribution program ini ada 40 mahasiswa yang terpilih untuk volunteering di komunitas Zavala di Yucatan. Hal seru dari program ini ialah di hari pertama, kita diajak travelling ke kota Valladolid, salah satu Los pueblos mágicos (the magical towns, sebuah istilah pariwisata pilihan di México) dan ke Zocalo Cenote (danau bawah tanah alami akibat runtuhnya batuan kapur).


Hari kedua dan seterusnya, kami pergi ke Zavala untuk kegiatan volunteering membuat efficient woodstoves untuk warga disana. Sedikit context building, Zavala adalah daerah pedalaman di Yucatan (nama provinsi), dimana warga disana masih menggunakan kayu bakar untuk kegiatan masak-memasak. Karena dampak buruk dari pembakaran mentah menggunakan kayu bakar, maka banyak warga disana (khususnya yang tua) terkena penyakit paru-paru. Efficient woodstoves yang kami buat didesain agar warga disana bisa melakukan kegiatan masak-memasak dengan ramah energi, ramah lingkungan, dan desain yang memungkinkan agar asap bisa dialirkan langsung ke udara.


Sekitar 1 minggu kami di Zavala, and along the way we started to make friends with other volunteers and also most importantly the locals. Gw pribadi menjadi sangat attached dengan satu keluarga, ada Maria dan dua anaknya (somehow, gw cuma ingat nama adiknya, Miro). They are so loveable, that I consider them as my little brothers. Setelah selesai membuat hampir 20 woodstoves selama satu minggu, kami menghabiskan hari terakhir dengan merayakan pesta bersama warga disana. It was really fiesta but also really sad when we had to say goodbye to the community. Bahkan Maria dan anak-anaknya sampai nangis memeluk gw, ketika kita harus perpisahan. Gw gak tau apakah dalam hidup ini gw bisa bertemu lagi dengan mereka, tapi 1 minggu dengan mereka benar-benar melunakkan hati dan membuka pikiran gw.


Gejolak pikiran dan kegelisahan gw dalam travelling pun berkembang, yaitu agar bisa mengintegrasikan cita-cita travelling dan menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama. Sepulang dari México, gw berkontemplasi dan memproses keresahan bahwa di masa depan nanti, Ikigai gw harus bisa membuat sebuah social volunteering travelling experience.


Labuan Bajo, 2018

Setelah perjalanan gw di México, gw merasa bahwa profil gw sebagai seorang traveler mulai terbentuk di benak dan persepsi orang-orang. Mungkin karena unsur México yang membuat seolah-olah gw sudah melanglang buana, namun hal itu membuka koneksi dengan peminat travelling lainnya di Instagram. Partisipasi gw dalam program Future Leader Summit juga membuka pintu untuk berkenalan dengan teman-teman dari berbagai daerah di Indonesia. Sehingga ketika gw travelling ke suatu daerah, biasanya ada saja teman FLS yang menjadi kenalan dan tuan rumah di sana.


Seiring berjalan waktu, gw merasa ingin membuat “profil” dari cerita travelling gw, dan lahirlah “Travelling Trilby”. Seperti anak remaja galau yang sering bergonta-ganti username, di pertengahan tahun 2017, gw mengganti Raka Ikrar menjadi Travelling Trilby (username tetap @rakaikrar) dan mulai selalu berbagi cerita menggunakan #TravellingTrilby.


#TravellingTrilby menjadi kehidupan kedua gw dan cerita jalan-jalan terus bertambah. Satu cerita dari trip Bali di 2018, menjadi konten yang gw gunakan untuk mengikuti lomba dari @jeniusconnect di bulan November 2018. Singkat cerita gw terpilih menjadi pemenang #Jalan2Jenius ke Labuan Bajo di akhir 2018 (Panjang cerita bisa dibaca di post Destination: Labuan Bajo dan Berawal dari sebuah Kartu Pos). Pengalaman menjadi pemenang lomba #Jalan2Jenius ini menyadarkan gw bahwa in a way ada cara bagi seseorang untuk menjadikan travelling sebagai mata pencaharian. Dari trip ini lah gw semakin mantap untuk menetapkan mimpi gw dalam 5 tahun ke depan untuk menjadi full time traveler.


Gn Parang – Baduy – Bromo – Banyuwangi, 2019

Di akhir tahun 2019, gw mengenal dunia baru dari kehidupan travelling, yaitu open trip. Pada saat itu, sibuk dengan pekerjaan masing-masing, gw sudah tidak punya teman yang selalu bisa diajak untuk pergi travelling, hingga akhirnya mulai tertarik ikut open trip. Pengalaman pertama ikut open trip ialah via ferrata climbing di Gn. Parang oleh @skywalker_viaferrata (cerita bisa dibaca di post ini), bulan berikutnya gw ikut open trip ke desa suku Baduy oleh @wisatasukubaduy (cerita bisa dibaca di post ini), dan di bulan Desember gw ikut open trip Bromo & Banyuwangi oleh @ara.adventure (cerita bisa dibaca di post ini).


Dua hal yang gw suka dari open trip adalah: 1) Bisa berkenalan dengan orang asing dan menambah teman baru. 2) Gw bisa menjadi siapapun yang gw mau (maksud dari statement gw bisa dipahami di sini). Pada open trip ke Banyuwangi, secara kebetulan guide kami waktu itu adalah pemiliknya sendiri, Mas Angga. Di satu pagi sepulang dari Gn. Ijen, gw berbincang panjang dengan Mas Angga, dan dia cerita tentang awal mula membangun open trip @ara.adventure. Berawal dari hobi jalan-jalan, belajar nge-guide pengunjung, hingga membangun organisasi open trip. Mungkin bagi sebagian orang, dunia travelling menjadi momen liburan semata, tapi saat itu gw bisa merasakan passion yang diceritakan mas Angga, hingga akhirnya gw mulai kepikiran untuk merintis open trip gw sendiri di tahun 2020.


Pacitan, 2020

Travelling pertama gw di tahun 2020 dimulai dari ajakan @gusakti, teman yang gw kenal lewat Instagram, mungkin sejak 2017, tapi baru kali itu kita bisa jalan-jalan bareng, pergi ke Pacitan. Konsep yang digunakan pada trip kali ini adalah sharing trip. Secara singkat, konsep sharing trip adalah mengumpulkan orang-orang yang ingin jalan-jalan ke destinasi yang sama dan membagi biaya untuk perjalanan tersebut.


Ada 6 orang yang ikut sharing trip ke Pacitan, yaitu gw, @gusakti, @krisnayudh, @ilhamrofiqi, @etzafadiila, dan @divamaulidina. Hal menarik dari kombinasi orang-orang ini, adalah most of us baru pertama kali bertemu dengan lainnya. Jadi ada rantai pertemanan antara satu dengan lainnya, dan menyatukan kami dalam kelompok perjalanan yang sama. Meskipun kita baru saling mengenal, tapi frekuensi orang yang suka jalan-jalan itu serupa, sehingga kita cocok dengan satu sama lain. Buat gw pribadi, trip Pacitan kali itu adalah pembuka tahun 2020 yang sangat baik dan membuat gw jatuh cinta dengan konsep sharing trip.


Pada suatu senja hangat di Pantai Karang Bolong, terjadi sebuah perbincangan antara kami, yang sering gw rangkum dalam istilah “Sawang Sinawang”. Sawang Sinawang adalah istilah jawa yang setara dengan istilah bahasa Inggris, neighbours grass is always greener. Senja itu gw bertanya kepada @krisnayudh yang pekerjaan kesehariannya adalah sebagai seorang guide, tentang hidup dan pekerjaan di industri pariwisata. Perbincangan senja itu memberikan gw banyak insights tentang suka dan duka dalam berkarier sebagai seorang guide. Tapi di satu sisi semakin menginspirasi gw bahwa setidaknya dalam 5 tahun ke depan, travelling is something that I want to do with my life and made me decide to take ‘Travelling Trilby’ more than just a hobby.


Paseban, 2020

Cerita tentang mimpi panjang gw di atas was almost perfect and life defining. That is until COVID hits 2020 like a meteor.


Di bulan Maret, ketika gw sudah memberanikan diri untuk announce rencana trip “Rope Jumping” di IG, hitung-hitung kesempatan untuk build experience arrange trip. Unfortunately, at the end harus gw cancel menimbang tingkat persebaran COVID yang sangat rapid dan impact ke industri pariwisata secara keseluruhan. Bucket list gw untuk travelling setiap bulan di 2020 pun digagalkan dengan mudahnya oleh pandemi COVID. Perlahan, wacana serta semangat untuk travelling menurun dan membuat gw jadi mempertanyakan kepercayaan diri dalam travelling. Tidak terasa 4 bulan terlewati tanpa 1 travelling pun and honestly, I wasn’t expecting to go on any travel in any time soon.


Di minggu terakhir bulan Juli 2020, berawal dari satu DM innocent “kuy bogor Sabtu ini”, ternyata menjadi permulaan untuk fase baru di kehidupan travelling gw. @Sportsedetik, teman yang gw kenal di acara Travelling and Teaching, menjadi oknum utama pencetus rencana explore Paseban. Dengan gerak cepat, Irfan juga mengumpulkan beberapa teman yang sudah merindukan rasanya travelling ke dalam sebuah group WA dengan nama “Selangkah”.

“Karena jelajah cukup dimulai dengan selangkah”

Quotes ini terngiang di kepala gw saat pertama kali melihat nama Selangkah. Seolah mengingatkan dan menyadarkan hal penting, bahwa dalam travelling, hanya 1 hal yang kita butuh: Yakin. “Selangkah” nama group yang sederhana namun sangat filosofis bagi gw.


Bicara lebih lanjut tentang Selangkah, adalah bagaimana konsep dari trip ini seolah menjadi akumulasi dan bentuk travelling paling ideal dalam cita-cita gw.

· Everyone is strangers, and everyone is friend: Kumpulan teman baru yang disatukan oleh semangat dan perasaan kangen jalan-jalan.

· Derita bersama, cerita bersama: Konsep sharing trip dalam berbagi biaya perjalanan, berbagi tanggung jawab, berbagi keputusan, dan berbagi suka duka.

· Uncovering hidden gems one at a time: Pilihan destinasi yang baru dan berbeda. Membongkar mitos bahwa travelling itu susah dan mahal.

· Jelajah dan Sukarela: Aktivitas yang tidak hanya dipenuhi dengan travelling, namun sebagian waktu dihabiskan untuk berbagi manfaat kepada warga di sekitar destinasi.


Konsep Selangkah mungkin saja hanya sebuah pembicaraan dan wacana ngalor ngidur antara teman-teman yang suka jalan-jalan. Tapi buat gw pribadi, ini adalah bentuk terdekat dari mimpi dan gejolak pikiran yang gw kembangkan selama hampir 5 tahun mendalami travelling.


Sekian tulisan ini gw buat dari alam bawah sadar paling dalam. Tadinya gw hanya ingin menulis singkat tentang beberapa momen penting yang membuat Selangkah menjadi sangat berarti buat gw, but waves of emotion come running when I was writing this. This is an accumulation of my mental development during my 5 years of travelling. Terima kasih bagi kalian yang membaca tulisan ini sampai akhir, I really appreciate it.


Minggu depan gw akan release post baru di blog ini sebagai kelanjutan dari episode #TravellingTrilby. Kontennya akan kembali dengan story telling dan destination review, so stay tune! Hasta La Vista

41 views

Recent Posts

See All
bottom of page